Komunitas An Najah: Belum Lagi Tergali dengan Baik
Mengenal An Najah sekarang, tidak lagi akan sama dengan ketika saya masih menjadi salah satu siswa. Namun, kiranya tetap ada setitik yang menyemburatkan persamaan di antara keduanya. An Najah belum lagi berdiri optimal. Di dalamnya, masih banyak komponen yang mati suri, menunggu untuk dibangunkan dan menemukan pemahaman dari najah itu sendiri, kesuksesan.
Saat saya berganti peran—dari siswa, menjadi alumni, dan sekarang menjadi salah satu tenaga pengajar di tk. SMA, titik persamaan itu saya temukan dari adik-adik yang kini menjadi murid saya. Jika dianalogikan, akan menjadi yang demikian.
Pada Senin, hari yang mengawali keseluruhan minggu. Terlihat para siswa belum lagi terbangun, masih asyik dengan mimpinya. Adapun ada yang sudah terbangun, ia seperti limbung dengan hari yang akan dihadapinya. Karena itu, ia memilih untuk duduk lebih dulu di beranda rumah, sambil memperhatikan orang-orang lalu lalang.
Selasa, ia baru bersiap untuk pergi mandi. Dengan membawa cawan berisi peralatan seadanya. Ia tidak peduli bahwa di luar sana, orang-orang bahkan sudah mandi untuk ke sekian kalinya.
Rabu, setelah sarapan, siswa telah siap untuk berangkat sekolah. Akan tetapi, malangnya, belum lagi ia sampai ke sekolah, ia harus bertengkar dengan kondektur bus yang tidak mau memberikan uang kembalian ongkosnya. Turun dari bus, ia kemudian dimintai tolong dengan paksa oleh seorang tua untuk membantunya menyebrang jalan.
Baru di hari Kamis, siswa sampai di sekolah. Saat itu, dalam kepalanya masih terngiang-ngiang ocehan kondektur yang curang dan rengekan si tua yang menggeramkan. Ia tidak sadar, bahwa saat kepala mendongak, baru saja guru terakhir member salam dan bersiap untuk meninggalkan kelas.
Ini sudah Jumat, siswa berusaha dengan sangat keras untuk menebus semua ketertinggalannya. Tapi sangat mengejutkan, ternyata hari ini guru yang kemarin sudah mendapat wangsit. Dia begitu bersemangat. Dipacu semua muridnya dengan sejuta angan-angan tentang sukses masa depan. Tebak yang terjadi, siswa tidak menolak, meskipun ia belum lagi tahu apakah dirinya mampu. Tapi, siswa mau mencoba, mau diajak, mau diberi ruang berangan. Justru dalam ruang itu, kemudian siswa mencoba tertatih, bahkan belajar untuk berlari.
Semalam suntuk siswa berusaha.
Di sabtu pagi,,,siswa betul-betul sudah pandai berjalan, berlari, bahkan melompat dan menari. Semua orang tertegun., termasuk dirinya sendiri. Di titik itu kemudian semua menginsyafi, bahwasanya setiap diri mengubur potensi. Perlu untuk dirinya dan orang di sekelilingnya untuk berusaha mengambil cangkul untuk kemudian menggalinya. Jangan lupa, masukkan ke dalam lubang yang telah digali tersebut dengan bibit bunga, sayur, buah, atau tumbuhan terbaik. Setelah itu, jangan lupa untuk memberinya waktu untuk tumbuh, tutuplah lubang itu. Maka benih-benih itu akan terpaksa untuk berusaha mencari jalan keluar, dan lihatlah,,,bibit itu keluar dan memperlihatkan bentuk yang paling indah.
Dengan demikian,,,di hari Minggu, kita tinggal menikmati keindahan itu terhampar, menjadi bagian dari ribuan tumbuhan yang juga tumbuh indah di kebun yang terpelihara. (Imas Uliyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar