Rabu, 11 Januari 2012

CUKUP DENGAN BAJU


… cukup dengan kata baju, sudah dapat dipahami bahwa pasti seseorang tidak hanya memakai ‘baju’ tetapi juga celana atau rok sebagai bagian—yang  juga—penting  dalam struktur berpakaian.

Baju dapat dimaknai sebagai sesuatu yang digunakan manusia untuk menutupi tubuhnya. Lebih dari itu, secara spesifik baju kemudian seringkali hanya dipahami sebagai penutup tubuh bagian atas yang dapat dipadupadankan dengan ‘bawahan’ sejenis celana atau rok. Lalu kenapa cerpen ini memilih judul baju, bukan pakaian atau busana jelas-jelas lebih mengindikasikan kepada makna penutup tubuh yang lebih lengkap?
Sebagai bagian dari satuan berpakaian atau berbusana, pemilihan kata baju dalam judul cerpen ini tetap dapat dipahami sebagai pemberian makna sebagian untuk seluruh (mengandung majas sinekdok pars pro toto). Artinya, kita tidak perlu mengatakan pakaian atau busana untuk mengatakan bahwa seseorang menggunakan satu pasang (baju dan celana/rok), karena cukup dengan kata baju, sudah dapat dipahami bahwa pasti seseorang tidak hanya memakai ‘baju’ tetapi juga celana atau rok sebagai bagian—yang  juga—penting  dalam struktur berpakaian. Hal yang serupa dinyatakan oleh Drupadi dalam pergulatan batinnya:
Dursosono masih menarik bajuku, dan atas pertolongan Krisna, baju dan kainku tidak pernah terbuka. (Cerpen Pilihan Kompas: 91)

Dengan demikian, baju kemudian mengarahkan kita pada konsep komposisi berpakaian. Dan berbicara soal komposisi berpakaian maka hal pertama yang dapat dibayangkan adalah baju. Hal ini dikarenakan baju—jika dimaknai sebagai penutup tubuh yang dapat dipadupadankan dengan bawahan sejenis celana atau rok—pemakaiannya selalu ditempatkan di bagian teratas, sebagai awal mula. Kemudian saat ia telah dipasangkan dengan ‘bawahan’ sejenis celana atau rok, maka lengkaplah ia sebagai pakaian atau busana yang lengkap. Namun yang perlu diperhatikan,  sebagai penutup yang terletak di bagian paling atas, baju memiliki potitioning yang sangat penting dalam mengartikan harga diri, sebagai sesuatu yang sangat penting dalam diri seseorang dan perlu dijaga (baca: ditutup) selayaknya baju menutup setiap lekuk tubuh manusia.
Penjagaan harga diri bagi setiap orang merupakan hal mutlak, seperti halnya seseorang yang waras sangat mementingkan penggunaan baju, terutama bagi seorang permaisuri, istri keturunan raja-raja Hastinapura yang juga anak raja seperti Drupadi dalam cerpen ini. Bagi Drupadi, baju yang dikenakannya sama dengan harga dirinya. Oleh karenanya, menanggalkan  baju apalagi di hadapan orang selain suaminya merupakan pencopotan harga diri yang sungguh tidak manusiawi. Seperti yang diungkapkan oleh Drupadi:
Duh Gusti…, mereka membuka bajuku, sepertinya aku ini budak atau pelacur. Tidak pernah aku diperlakukan seperti ini. Tubuh perempuanku adalah ekspresi dari seluruh jiwa ragaku. Aku selalu menuntut mereka memperlakukan aku dengan perasaan yang saling menghormati…
…aku memohon pada Dewata untuk mati saja daripada  dihina seperti ini.
(CPK 2005: 90)
           
            …ketika Dursosono membuka bajuku, kemarahan meledak di hatiku.
(CPK 2005: 92)

Lewat penggambaran di atas, seolah Drupadi hendak mengungkapkan bahwa apa yang ada dan dilindungi di balik bajunya adalah sesuatu yang sangat berharga. Ia menganggap perlakuan mempermalukannya dengan cara membuka bajunya, tidak lebih sebagai ajang merendahkan derajat, terlebih menempatkannya pada posisi yang sama tidak berharganya seperti budak atau pelacur. Dan jika sampai hal itu terjadi maka artinya Drupadi telah kehilangan harga dirinya, harga diri yang selama ini ia simpan baik-baik “di balik bajunya”.
 Berbicara soal baju, maka pada teks lain dalam cerpen ini justru berbicara soal baju dalam makna yang lain: kupilih satria yang berbaju brahmana (CPK 2005: 93). Baju dalam kalimat ini membawa kita pada persepsi soal status dan kedudukan sosial sesorang dalam masyarakat. Status sosial ini diasumsikan melekat pada diri seseorang seumpama baju yang melekat pada kulit.

Mimpi Drupadi Seolah Menjadi Kenyataan
            Struktural memandang bahwa ada keterkaitan antara tanda yang satu dengan tanda lainnya. Demikian halnya dengan peristiwa pencopotan baju yang dialami oleh Drupadi. Terkait dengan hal tersebut, sebetulnya Drupadi telah menangkap tanda-tanda yang sebelumnya ia tidak pahami lewat mimpi-mimpi yang didapatnya.
… Rasanya aku sudah mempunyai firasat dan mimpiku yang berturut-turut bahkan sempat kuceritakan pada suami-suamiku bahwa aku tidur telanjang dan diperkosa oleh penjahat-penjahat Hastinapura. (CPK 2005: 92)

Dalam konteks tersebut, Drupadi sebetulnya sudah memiliki firasat bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk berkaitan dengan harga dirinya, terutama soal bagian-bagian tubuh yang ditutupnya dengan baju dan kain. Hal ini menandakan bahwa mimpi yang dialami oleh Drupadi merupakan tanda akan terjadinya perlakuan tidak senonoh yang akan dilakukan oleh Dursosono, meskipun mungkin pada saat tanda itu muncul (baca: mimpi) Drupadi ataupun orang-orang di sekelilingnya belum menyadari bahwa mimpi sebagai tanda.
Suami-suamiku dengan santun mendengarkan ceritaku, tetapi tidak mempercayai mimpiku. Undangan dari Hastinapura mengharu-birukan perasaan mereka dan setiap kecemasanku tidak pernah dianggap oleh mereka. Bahkan mereka dengan asyiknya berlatih main dadu (CPK 2005: 92).

Alih-alih tidak menyadari mimpi sebagai tanda, suami-suami Drupadi justru tidak mempercayai  mimpi yang dialami Drupadi. Padahal, tanpa disadari justru perwujudan mimpi Drupadi tengah mulai diupayakan perwujudannya lewat usaha mereka untuk memenuhi undangan bermain dadu dengan giat berlatih. Mereka semakin tenggelam dalam jebakan yang dirancang oleh Hastinapura, sehingga seperti kehilangan akal para suami itu kemudian mempertaruhkan istrinya sendiri, Drupadi, sebagai taruhan di meja judi.
Aku sebetulnya sudah melarangnya. Tapi, suami-suamiku yang perkasa tidak memedulikan naluri seorang istri. Mereka bilang, perjudian ini cuma menghormati tuan rumah yang sudah mengundang kita (CPK 2005: 89).

Betul-betul para suami tidak mau mempercayai tanda yang memungkinkan terjadinya celaka bagi mereka. Padahal sebelumnya, bahkan firasat Drupadi sudah diyakinkan oleh desas-desus yang didengarnya dari para dayang, seperti yang dikutip dalam teks berikut. 
Di kapuntren, para dayang sudah berbisik bahwa permainan dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa sehingga para pandawa pasti kalah (CPK 2005: 90).

Dengan demikian, pencopotan baju yang hendak dilakukan oleh Dursosono sebetulnya merupakan ujung dari keterikatan dan keterkaitan dari tanda-tanda yang muncul mulai dari undangan berjudi dan rencana curang para pandawa sampai pada mimpi yang dialami langsung oleh Drupadi, namun tidak dipercayai oleh para suami Drupadi sebagai tanda akan hilangnya harga diri Drupadi—pecopotan baju.

(tulisan merupakan latihan analisis struktural cerpen Baju karya Ratna Indraswari Ibrahim dalam mata kuliah Teori Sastra Program Pasca Sarjana Univ. Indonesia) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar