Pendahuluan
Kekuasaan sangat penting dalam hal kelangsungan menerapkan dominasi. Kekuasaan itu sendiri sangat berkaitan dengan hak kepemilikan atas sesuatu. Dalam sebuah wilayah, kekuasaan kerap diidentikkan dengan berapa banyak seseorang memiliki lahan di wilayah tersebut. Tidak heran—terutama di pedesaan—orang yang berkuasa menerapkan kekuasaannya lewat kepemilikan lahan seluas-luasnya, sehingga muncul kemudian istilah tuan tanah atau juragan tanah. Konsep tersebut tidak hanyak berlaku untuk perseorangan, melainkan juga untuk lembaga atau instansi. Penerapan konsep tersebut pada akhirnya memicu kemunculan praktik-praktik pengambilan lahan lewat berbagai cara. Pengambilan lahan yang kemudian berujung pada konflik sengketa tanah antara penggugat—yang berkuasa—dengan orang yang tidak berkuasa.
Kasus pengambilan dan penguasaan lahan tersebut semakin sering terdengar terutama mulai tahun 2009. Meskipun upaya pengambilan lahan tersebut seringkali terjadi antara aparat/intansi pemerintah dengan warga sipil, namun muncul kecurigaan karena hal tersebut terjadi di tengah maraknya pembangunan komplek atau tempat usaha (ruko/rukan) yang kesemuanya berujung pada kepentingan kapitalisme. Dan apabila hal ini betul terjadi, maka kecurigaan selanjutnya adalah bahwa dalam setiap pengambilan lahan di dalamnya terdapat upaya mengubah orientasi dan bentuk ruang publik (meskipun dilakukan dengan menggunakan nama kepentingan oknum/instansi pemerintah). Kiranya fenomena ini yang tengah berlangsung di wilayah kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor.
Rumpin: Ruang Publik yang Potensial
Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor merupakan sebuah wilayah yang terletak di ujung utara Kabupaten Bogor. Sedikitnya terdapat lima desa/kelurahan tergabung dalam kecamatan yang luasnya hampir mencapai 40 Ha tersebut. Dilihat dari luasnya, kecamatan tersebut tentu sangat potensial terutama mengingat banyaknya sumber daya alam yang terkandung di setiap desanya, selain dari masih tersedianya lahan kosong dalam jumlah yang besar. Setiap harinya, tidak sedikit material alam yang dikeruk mulai dari pasir, batu, hingga tanah merah.
Sumber potensi lainnya adalah keberadaan kecamatan ini yang sangat berdekatan dengan Kota Tangerang Selatan, terutama dengan lahan pembangunan PT. Bumi Serpong Damai yang kian hari kian melebar hampir ke seluruh pelosok. Kedekatan jarak ini yang kemudian mempengaruhi kecamatan Rumpin, terutama desa Sukamulya untuk kemudian secara ekonomi dan kehidupan sosial mulai berkembang dan semakin meningkat setiap waktunya.
Kekuasaan Simbolik Negara Lewat Kehadiran TNI AU
Pertengahan tahun 2009 ketersedian lahan yang masih kosong mulai terendus oleh aparat pemerintahan, dalam hal ini TNI AU. Praktik pengambilan lahan seluas 1Ha mulai dilakukan dengan dalih kepentingan negara: penyediaan pemukiman yang layak bagi para anggota tentara. Sebagai penjelasan disampaikan bahwa pembangunan pemukiman ini penting dilakukan mengingat ketersediaan lahan di komplek TNI Atang Sandjaya Kabupaten Bogor sudah tidak lagi dapat mencukupi. Hal ini sangat mencolok, terutama saat pengambilan lahan pada awalnya justru dilakukan pada lahan berpenduduk bernama Kp. Cibitung. Kekerasan terjadi demi kepentingan kelancaran pengambilan lahan, sedangkan masyrakat setempat tidak dapat berbuat apa-apa selain hanya menerima kenyataan bahwa “demi kepentingan negara” mereka harus terusir dari tanah yang selama ini mereka tempati. Hal ini menandakan bahwa betapapun kecilnya kekuasaan itu diterapkan, maka dalam kondisi tersebut akan muncul tokoh penguasa (mendominasi) dan tokoh yang didominasi (yang seringkali wujudnya muncul dalam wajah rakyat jelata). Celakanya, rakyat sebagai tokoh yang didominasi tidak dapat berbuat banyak karena justru dominasi tersebut muncul dalam bentuk kuasa Negara yang notabene merupakan kekuasaan paling tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini kemudian yang disebut oleh Bourdieu sebagai kekuatan dari kapital simbolik.
Belakangan, mulai tahun 2010 sengketa tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Kp. Cibitung, tetapi juga mengancam Keseluruhan kecamatan Rumpin. Dengan luas total 40 Ha lahan yang diklaim, TNI AU mengungkit bahwa itu merupakan hal yang sewajarnya mengingat kecamatan Rumpin dalam sejarah dicatat sebagai salah satu wilayah peperangan pada masa penjajahan Jepang. Hal ini semakin tidak logis, mengingat tidak ada keterkaitan sejarah, terutama mengingat masyarakat yang saat ini menempati lahan pada mulanya melakukan transaksi jual beli yang sah dan mendapatkan sertifikat dari aparat setempat. Ketidaklogisan ini kemudian seolah dipatahkan oleh keputusan menteri Keuangan Indonesia yang menyatakan bahwa lahan tersebut memang milik negara. Legitimasi yang bahkan tidak diberikan oleh bagian hak kepemilikan lahan. Tentu ini semakin menunjukkan adanya indikasi kepentingan ekonomi yang ditonjolkan.
Seiring perkembangan waktu, meskipun pada praktiknya perluasan lahan tersebut belum lagi diteruskan. Paling tidak fenomena itu sudah cukup mempengaruhi pola piker masyarakat setempat yang secara praksis merasa tidak mendapat pembelaan negara, justru sebaliknya justru negara yang seolah menjadi momok yang menakutkan bagi mereka.
Legitimasi Kuasa Berlapis: Kedok Kepentingan Kapitalisme
Di tengah isu adanya kemungkinan pengambilan lahan, hal yang sangat kontras justru terjadi. PT. Bumi Serpong Damai (BSD) justru belakangan diketahui menguasai beberapa lahan strategis di Kecamatan Rumpin dalam jumlah yang cukup besar. Bahkan, di Kp. Cicangkal pembangunan komplek pemukiman untuk kelas menengah pada saat ini sudah hampir rampung dikerjakan. Hal ini tentu semakin menimbulkan kecurigaan. Bagaimana bisa, di tengah kekhawatiran masyarakat atas pengakuan lahannya oleh aparat, justru BSD dapat dengan leluasanya melakukan pembangunan?
Hal ini tentu memicu asumsi publik bahwa isu pengambilan lahan dapat saja dilakukan alih-alih untuk memberi keluasaan bagi “orang-orang yang berkepentingan” dalam hal meraaup keuntungan sebanyak-banyaknya. Sesuatu yang tentunya berujung pada kapital ekonomi (baca: kapitalisme). Sampai di sini dapat terlihat bahwa kelancaran perolehan kapital ekonomi tersebut tidak terlepas dari kepentingan politik (kekuasaan) dan ruang sosial (prestise) kelompok yang bersangkutan. Dalam hal ini, BSD tentu memiliki semuanya. Dukungan dari banyak pihak sebagai perwujudan legitimasi kuasa berlapis yang kemudian memberikan keuntungan kepada sebagian pihak yang bukan masyarakat kebanyakan.
Komplek Tirtawana BSD: Upaya Modernisasi Perkampungan
Upaya modernisasi tentu sangat erat kaitannya dengan upaya mengubah sebuah ruang publik. Seperti latah, daerah-daerah pelosok seolah beranggapan bahwa model kehidupan perkotaan sudah layak diadaptasikan di wilayahnya masing-masing. hal itu yang dicurigai sebagai alasan betapa mudahnya proyek-proyek pembangunan seperti yang dilakukan oleh BSD dengan mudah memperoleh perizinan. Demi memperloeh predikat desa berkembang aparat seolah tutup mata akan kemungkinan dampak yang terjadi dalam ruang sosial yang selama ini telah tumbuh dan berkembang. Masyarakat seluruhnya dipukul rata sebagi konsumen yang sangat membutuhkan hidup dalam ruang yang tertutup sebagaaimana yang ditawarkan dalam konsep komplek pemukiman.
Komplek Tirtawana yang dikembangkan oleh BSD di tengah pemukiman kampung tampak sebagai upaya kemodernan yang pincang. Tawaran modern hanya sebatas dalam bentuk fisik, bangunan yang dari luar tampak kokoh dan aman. pada gerbang terdapat satpam sebagai simbol kemanan. Ada beberapa persoalan yang muncul akibat fenomena ini: Pertama, kemodernan yang ditawarkan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat perkampungan secara menyeluruh. Standar kebutuhan masyarakat perkampungan adalah adanya rasa kekeluargaan (guyub) antar masyarakat yang tentu sulit diperoleh dalam penerapan konsep komplek pemukiman. Setiap individu akan hidup dengan cara dan pola pikir yang berbeda satu sama lain. Kedua, adanya kemungkinan masyarakat setempat pada mulanya tidak akan menjadi bagian dari komplek tersebut. Hal ini dimungkinkan oleh beberapa hal seperti tingginya harga yang dipatok perusahaan atau kondisi rumah yang terlalu kecil untuk ukuran masyarakat kampung yang notabene memiliki keluarga dalam jumlah yang cukup banyak. Hal yang sebaliknya justru berlaku bagi masyarakat pinggiran kota yang berada pada posisi kelas menengah cenderung ke atas. Dibandingkan dengan harga di perkotaan, harga berkisar di angka 100 juta menjadi tawaran yang menggiurkan bagi golongan masyarakat tersebut. Hal tersebut dikarenakan focus yang mereka cari adalah kepemilikan atas sebuah rumah, bukan soal seberapa besar rumah yang nanti akan mereka diami. Dengan demikian, kehadiran komplek pemukiman di wilayah perkampungan Cicangkal pada dasarnya justru member keuntungan bagi orang-orang di luar masyarakat Cicangkal itu sendiri. Sedangkan sebagai pribumi, masyarakat Cicangkal justru hanya menjadi penonton di tengah gegap gempita kemodernan yang digembor-gemborkan. Kemodernan yang sebetulnya rapuh dan belum lagi diperlukan oleh masyarakat kampung seperti Kampung Cicangkal.
Namun demikian, kehadiran komplek Tirtawana sebetulnya sudah sangat mempengaruhi ruang publik di kampung Cicangkal. Betapa tidak, lahan yang dahulunya merupakan tempat masyarakat bertani dan mendapatkan nafkah hidup saat ini sudah berubah menjadi sekumpulan rumah “orang baru” yang secara kasat mata sulit dibaurkan karena adanya tembok-tembok pemisah antara warga pemukiman komplek dengan warga kampung. Meskipun pada akhirnya, interaksi dapat juga dilakukan, di mana warga setempat mungkin akan ada yang menjadi pembantu di rumah-rumah tersebut. Akan tetapi kondisi tersebut tidak dapat secara serta merta mengangkat masyarakat kampung kepada kemodernan yang hakiki. Karena sekali lagi, masyarakat kampung hanya dijadikan sebagai penonton karena berada pada posisi lebih di bawah orang-orang yang justru hanya pendatang.
(tulisan merupakan kritik atas fenomena dalam ruang publik yang diajukan dalam mata kuliah Teori Kritis, Dosen: Manekke Budiman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar