Rabu, 29 Februari 2012

Kompleksitas Ruang Sosial dalam Novel Mumi Beraroma Minyak Wangi Karya Naning Pranoto


Dalam menggambarkan ruang sosial, di dalamnya secara tidak langsung tentu akan tergambarkan praksis-praksis yang dilakukan seorang agen dalam memperlihatkan eksistensinya sebagai individu dalam ruang sosial tersebut. Sebagai individu—dengan kedinamisan perannya—tokoh ini memiliki ruang sosial atau ruang sosial yang sangat menarik untuk diperhatikan, terutama mengingat struggle yang dilewati tokoh untuk tetap mempertahankan keberadaannya sebagai seorang individu. Berikut adalah skema ruang sosial dalam MBMW dengan penggambaran umum keseluruhan perjalanan hidup tokoh.   
Ruang sosial yang pertama menggambarkan tokoh utama dikenal dengan identitas Neneng. Ruang sosial yang terbentuk pada saat itu adalah ruang di mana Neneng masih berada di tengah keluarganya dan Kang Adi, calon suaminya. Posisi Neneng dan ruang tersebut sebagai putri keluarga kelas menengah ke atas menjadi sebab Neneng berada memiliki potensi dalam kapital ekonomi dan sosial, meskipun secara tegas kemampuan kapital yang diperoleh Neneng lantas tidak menjadikannya setara dengan orang tuanya, karena memang kapital yang saat itu tengah melekat pada dirinya merupakan efek dari kekuatan kapital yang dimiliki orang tuanya. Demikian halnya dalam persoalan kapital budaya, posisi Neneng digambarkan lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena sebagai seorang yang bersekolah, Neneng menerima dominasi pacarnya yang bernama Kang Adi sampai pada akhirnya tanpa mempertimbangkan efek dan akibat, ia dengan rela menyerahkan kesuciannya sebagai gadis pada Adi yang tidak lama lagi akan berangkat ke Moskow, meninggalkan Neneng.
Ruang sosial yang kedua merupakan kelanjutan ruang sosial pertama yang lebih cenderung dikategorikan pada akibat. Artinya, posisi yang Neneng dalam ruang ini hamper tidak bermakna. Terutama karena hilangnya Adi dan tuduhan PKI yang pada akhirnya menjadikan Neneng tidak diakui oleh orang tuanya karena tetap memilih menikah dengan Adi (diwakili keris), pada tahap ini dipahami bahwa sebagai individu yang pada awalnya bergantung pada orang tua, Neneng kehilangan seluruh kekuatan kapital yang diturunkan oleh orang tuanya. Pada posisi kemunduran seperti itu, kondisi Neneng diperparah dengan keacuhan keluarga Adi pada Neneng. Neneng tidak dianggap sebagai menantu (baca: mengucilkan) selayaknya, terutama karena kedua mertuanya masih larut dalam suasana hilangnya Adi anak sulung mereka. Kondisi yang sangat dilematis ini lambat laun mengantarkan Neneng pada kegilaan, di tengah kehamilannya, di tengah kehancuran hatinya atas kehilangan Adi, orang tua, dan ketidakberterimaan keluarga Adi.
Ruang sosial yang ketiga terlihat saat kegilaan Neneng pada akhirnya menyadarkan keluarga Tanuwijaya untuk memperlakukan Neneng sebaik-baiknya sebagai wujud cinta kasih terhadap Adi. Nyonya Tanuwijaya membawa Neneng berobat ke Rumah Sakit Jiwa. Di rumah sakit itu, Neneng ditangani oleh dr. Billy. Terapi dan mediasi yang dilakukan dr. Billy kemudian berujung bukan hanya pada keberterimaan keluarga (khususnya tuan dan nyonya) Tanuwijaya, namun juga pada kecintaan yang sangat terhadap menantu yang selama ini mereka acuhkan. Lambat laun, Neneng menjelang kesembuhan, namun alih-alih tidak ingin lukanya karena mengingat Adi muncul, Neneng melupakan identitas lamanya dan menerima identitas baru yang diberikan oleh dr. Billy. Rosa, nama itu yang kemudian digunakan tokoh utama sebagai identitasnya dalam beberapa waktu. Pada posisi kegilaan ini, sebagai orang yang kehilangan akal sehat, Neneng-Rosa sama sekali tidak memiliki kekuatan kapital, baik ekonomi, sosial, budaya.    
Ruang sosial yang keempat berada pada saat Rosa memilih untuk pergi meninggalkan keluarga Tanuwijaya, dibantu oleh dr. Billy dan suster Lily, Rosa hidup dengan sejahtera. Saat itu, dr. Billy menjadi penyokong utama kehidupan Rosa, terutama dalam hal penyediaan rumah. Pemasukan keuangan Rosa didapat dari hasil penjualan parfume yang dibuat sendiri setelah mempelajari cara-caranya dari buku-buku yang diberikan oleh dr. Billy. Ini merupakan bukti yang kuat kepemilikan kapital budaya dalam diri tokoh utama. Dan kesediaan dr. Billy untuk terus berada di sampingnya meski tanpa status, membuktikan betapa sebagai individu Rosa memiliki kapital sosial yang sangat baik.
Ruang sosial yang kelima adalah pada saat terjadinya percobaan pembunuhan, yang kemudian diketahui oleh adik iparnya (Lida). Pada suatu malam, dibekap dari belakang, Rosa tidak dapat berbuat apa-apa, terutama karena begitu pekatnya bau pembius yang nampaknya diberikan dalam jumlah yang banyak. Tubuh Rosa yang dianggap telah mati, dibuang oleh Lida ke tempat pembuangan sampah (lebih tepatnya ke dalam tumpukan sampah) dekat kampung kebon sari. Saat sadar dirinya masih hidup, Rosa mengubur dalam-dalam identitasnya karena takut pembunuh itu kembali jika tahu ia masih hidup. Pada posisi tersebut, sebagai orang tanpa identitas, Rosa kehilangan seluruh kekuatan kapital sosial dalam arti dapat dikenali sebagai perempuan bernama Rosa. Namun, dengan perhiasan dan piyama sutra yang digunakannya kapital sosial Rosa tetap berjalan, saat itu bahkan tanpa Rosa mengatakan sesuatu semua warga yang menemukannya tahu bahwa Rosa mesti orang terhormat dari kawasan gedongan. Bahkan, mereka justru jatuh kasihan kenapa wanita kaya bisa ada di tengah sampah, sampai kemudian mereka membuat kesimpulan sendiri, mesti Rosa dijahati orang lain dan mereka merasa berkepentingan untuk melindunginya dengan cara menampung Rosa dan tidak banyak bertanya soal latar belakang Rosa.
Ruang Sosial yang keenam adalah saat Rosa kemudian memilih tinggal di perkampungan kumuh Kebon Sari dan menggunakan nama Ambri sebagai identitasnya. Ambri, dengan kemampuannya membuat ambri (parfume) dan pengetahuannya tentu menjadi lebih tinggi kapital sosial dan ekonominya di lingkungan kampung Kebon Sari. Yang menarik pada bagian ini adalah bagaimana dalam konstruksi masyarakat kampung Kebon Sari yang notabene ada di tempat pembuangan sampah memiliki kesepakatan soal status sosial yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Di kampung itu, keluarga berada ditentukan dari seberapa wanginya rumah mereka yang tempati, hal ini tentu sejak Ambri datang dan kemudian hidup sebagai penjual ambri di kampung tersebut. Konsep wangi sebagai tanda status sosial tersebut tentu kemudian berdampak pada kekuatan kapital ekonomi Ambri.
            Dari keenam ruang sosial yang tercipta dalam novel menunjukkan bahwa tokoh utama Neneng-Rosa-Ambri sebagai individu memiliki potensi kapital ekonomi, sosial, dan budaya yang kuat dan dapat dipertahankan dalam wujud identitas apapun bentuknya. Artinya, tidak peduli identitas apa yang diberikan tokoh utama tersebut pada titik akhir dalam setiap ruang sosialnya memiliki peluang kemenangan untuk kemudian mendaulatkan dan menunjukkan kembali kapital-kapital yang terintegrasi dalam dirinya.
(tulisan ini merupakan bagian dari makalah Mumi Beraroma Minyak Wangi: Fluiditas Identitas Tokoh Perempuan dalam Ruang Sosial : salah satu tugas Teori Sastra Program Pasca Sarjana FIB-UI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar