ABSTRAK
Perempuan Bugis lekat dengan konsep melindungi harkat dan martabat keluarga. Nilai siri’ dan dalil-dalil agama yang bias gender digunakan laki-laki untuk menguasai dan mengontrol perempuan, sehingga perempuan berada dalam posisi subordinatif. Kondisi ini tampak pada dua fase kehidupan perempuan Bugis, yaitu fase sebelum menikah dan fase sesudah menikah. Naskah Sitti Rabiatul Aliyah (Rol 29 No. 8) memperlihatkan kedua fase tersebut sebagai praktik kekuasaan laki-laki atas perempuan Bugis yang mendapat legitimasi dari tradisi dan agama.
Dalam penelitian ini, penulis akan membahas (1) bagaimana perempuan Bugis direpresentasikan dalam naskah Sitti Rabiatul Aliyah melalui pendekatan feminis multikultural, (2) bagaimana patriarki (ayah dan suami), tradisi, dan agama menjadi aspek penindasan atas perempuan Bugis. Hasil Kajian feminis multikultural ini adalah identitas perempuan Bugis yang direpresentasikan sebagai pribadi yang superior di tengah posisinya sebagai inferior. Perempuan Bugis justru menjadi agen yang mempertahankan nilai siri’ dan status sosial keluarganya. Dalam masyarakat Bugis, perempuan juga yang ‘bertugas’ meregenerasikan nilai siri’ tersebut. Dengan kemampuan reproduksinya, perempuan Bugis memberikan generasi penerus, sehingga nilai siri’ terhindar dari kepunahan.
Perempuan Bugis berkuasa untuk menentukan jalan hidupnya, seperti yang dilakukan oleh tokoh Sitti Rabiatul Aliyah (SRA) dan I Daramatasia (ID) yang memberikan perlawanan atas kekuasaan sistem patriarki, tradisi, dan agama. Peran perempuan dalam menentukan calon suami digambarkan sebagai wujud antisipasi atas terjadinya penguasaan laki-laki dalam rumah tangga. Dengan demikian, perempuan dapat terhindar dari sistem kekuasaan laki-laki yang kerap menempatkannya dalam peran inferior, sebagai warga kelas dua.
Kata Kunci: representasi, feminis, gender, identitas, nilai siri’, patriarki
Pendahuluan
Perempuan Bugis merupakan pribadi yang memiliki wilayah aktivitas tersendiri. Menurut pepatah orang Bugis, wilayah perempuan adalah sekitar rumah, sedangkan ruang gerak kaum pria “menjulang hingga ke langit”.[1] Hal tersebut menjelaskan bahwa dalam sebuah kehidupan rumah tangga terdapat peranan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki peran yang pada umumnya hanya sebatas wilayah domestik, sebagai ibu (indo’ana’) yang menjalankan kewajibannya menjaga anak, menumbuk padi, memasak, mencuci, menyediakan lauk pauk dan berbelanja keperluan keluarga. Pekerjaan utamanya dalam rumah dan sekitarnya serta mengatur dan membelanjakan pendapatan suami selaku “pengurus yang bijaksana” (pa’taro malampé’ nawa-nawa-é).[2] Hal itu tidak menjadikan peranan seorang perempuan Bugis hanya berakhir pada tingkat domestik.
Dalam satu kondisi, perempuan Bugis dapat menjadi pencari nafkah yang menghidupi keluarga. Hal tersebut terkadang harus dilakukan saat suami-suami mereka pergi melaut. Dengan kata lain, saat itu istri (perempuan Bugis) memiliki wewenang untuk mengambil alih tanggung jawab laki-laki dalam peranannya sebagai tulang punggung keluarga. Fenomena ini kemudian mampu menghadirkan sebuah pandangan bahwa pada dasarnya perempuan dapat tampil di muka umum tidak hanya sebagai partner, tetapi juga sebagai pribadi yang mandiri.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bugis selain terlihat pada sistem pembagian kerja, juga terlihat pada pranata kehidupan yang lain, seperti cara berpakaian, pembagian wilayah dalam rumah, sampai pada sikap dan perilaku dalam masyarakat. Akan tetapi, perbedaan berdasarkan perilaku gender itu bersifat fleksibel. Hal itu tergambar lewat ungkapan “meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan, yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki” (mau’ni na woroané-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui; mau’ni makkunrai na woroané sipa’na, woroané-mu).[3]
SRA dan ID merupakan dua tokoh perempuan dalam naskah Rabiatul Aliyah—sebuah naskah Bugis yang diadaptasikan dari naskah Sitti Rabiatul Adawiyah, Persia—yang kini tersimpan di kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan dalam Rol 29 No. 8. [4] Sebagai tokoh perempuan yang juga merepresentasikan perempuan Bugis, SRA dan ID tampil dengan berbagai adat budaya Bugis sebagaimana yang melekat dalam kepribadian seorang perempuan Bugis. Mereka menikah meskipun masih dalam status sebagai seorang sufi. Hal tersebut mengindikasikan masyarakat Bugis sebagai kesatuan budaya yang di dalamnya melekat kuat nilai siri’, yaitu rasa bangga serta malu, dan menikah merupakan salah satu wadah untuk memperlihatkan nilai tersebut.[5] Nilai siri’ tersebut kemudian yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan dalam naskah sufistik ini. Terlebih lagi, karena dalam masyarakat Bugis ”hanya manusia yang sudah menikah yang dipandang sebagai manusia sempurna dan utuh.”[6]
Dalam pernikahan itu kemudian praktik perbedaan berdasarkan gender yang dilandasi oleh adat-budaya dan agama mulai bermunculan. Seperti disampaikan Susan Lehrer, “the nuclear family is a different place for women and men.”[7] Artinya, rumah tangga merupakan tempat yang menunjukkan perbedaan laki-laki dan perempuan. Sampai pada puncaknya, ID tersingkir dari kehidupan rumah tangganya akibat praktik kekuasaan patriarki. Pada tahap ini tampak bahwa prinsip dominasi laki-laki atas perempuan telah merasuk sehingga perempuan (dalam hal ini SRA dan ID) pun merasa bahwa laki-laki sepantasnya berkuasa atau yang selalu benar dan perempuan selalu salah.
Pada dasarnya perkawinan merupakan satu bentukan budaya sehingga segala adat kebiasaan dan termasuk undang-undang yang berlaku adalah buatan manusia. Dalam Arivia disebutkan bahwa masyarakat dunia sebagian besar adalah masyarakat patriarki serta yang memiliki aturan simbolis laki-laki sehingga seluruh sistem adat-budaya, sosial, ekonomi, dan kepercayaan merupakan hasil yang memposisikan perempuan sebagai yang inferior.[8] Ketimpangan ini kemudian perlu untuk dikaji lebih jauh dengan menggunakan teori feminisme.
Feminisme merupakan sebuah langkah yang pada intinya memfokuskan perhatiannya pada seks sebagai prinsip pengatur kehidupan sosial di mana relasi gender sepenuhnya dipengaruhi oleh relasi kekuasaan. Feminisme secara konsisten memperjuangkan kesetaraan gender, yakni posisi dan peran yang setara antara laki-laki dan perempuan tidak dipengaruhi oleh bias gender. Dengan kata lain, sebenarnya dasar feminisme adalah satu kata, keadilan yang secara ideologi sama dengan multikultural.
Feminisme dan multikultural sama-sama memiliki ideologi yang sama berkaitan dengan mencapai titik keadilan dalam kehidupan, yaitu dengan mempersoalkan keadilan. Karena itu, pemikiran budaya multikulturalisme yang mempersoalkan perbedaan disambut baik oleh feminis multikulturalis. Feminisme multikultural sangat meyakini bahwa setiap perempuan mengalami ketertindasan dengan cara yang berbeda-beda. Terutama dalam naskah Rabiatul Aliyah ini, feminisme multikultural diharapkan mampu menjabarkan perbedaan-perbedaan yang dialami oleh SRA dan ID dalam rumah tangga sebagai bentuk penindasan atas diri mereka, bahkan atas diri perempuan Bugis lainnya.
Pada dasarnya feminisme multikultural merupakan sebuah upaya untuk melihat bahwa di saat-saat tertentu tindakan para perempuan sangat dipengaruhi oleh keberadaan adat-budaya dan agama. Feminisme multikultural mensinyalir bahwa dalam tindakan perempuan semata-mata sebagai tindak pasrah terhadap budaya yang ada di sekelilingnya. Dengan demikian, muncul indikasi bahwa ketertindasan perempuan juga dipengaruhi oleh agen-agen kekuatan, diantaranya adat-budaya, agama, dan sistem patriarki.
Perempuan Bugis: Fase Sebelum Menikah
Dalam masyarakat Bugis, perempuan diposisikan sebagai orang yang menjaga kehormatan dan martabat keluarga. Oleh karena itu, larangan yang diberlakukan bagi perempuan Bugis lebih ketat dari perempuan pada umumnya. Konteks menjaga kehormatan dan martabat yang dimaksud adalah bahwa perempuan dipandang sebagai pribadi yang rentan melakukan tindakan tercela. Saat perempuan berlaku sesuai dengan norma dan adat yang berlaku, maka itu merupakan satu keuntungan bagi keluarga. Perilaku yang sebaliknya justru akan menimbulkan penurunan kehormatan dan martabat keluarga. Oleh karena itu, perilaku yang ditunjukkan oleh perempuan merupakan aspek penting yang dapat mempengaruhi stratifikasi sosial dirinya dan keluarganya.
Keluarga Bugis memandang seorang anak perempuan yang belum menikah sebagai benda yang perlu dijaga dan diawasi. Pengawasan tersebut akan dilakukan oleh seluruh keluarga laki-laki. Hal tersebut sesuai dengan konsep masyarakat Bugis yang menyatakan bahwa seorang pria adalah pelindung bagi anggota keluarga perempuan.[9] Konsep ’pelindung’ tersebut menimbulkan pandangan bahwa anggota keluarga laki-laki, terutama ayah, berkuasa untuk mengawasi sekaligus mengontrol setiap tindakan dan keputusan yang dijalani perempuan dalam hidupnya.[10] Hal tersebut sesuai dengan kerangka berpikir sex differences (perbedaan seks). Dalam sex differences laki-laki dicitrakan sebagai memiliki fisik yang kuat, sedangkan perempuan dicitrakan memiliki fisik yang lemah. Oleh karena itu, laki-laki dianggap lebih mampu untuk melindungi perempuan.
Peranan kontrol laki-laki (ayah) dalam kehidupan seorang anak perempuan dapat dilihat diantaranya dalam masalah pendidikan dan perkawinan. Ayah menggunakan dominasinya sebagai ’pelindung’ untuk menentukan jodoh yang layak bagi anak perempuannya. Penentuan jodoh tersebut penting dilakukan sebagai usaha untuk mempertahankan atau bahkan menaikkan martabat keluarga. Dengan demikian, perkawinan yang tepat merupakan media bagi perempuan Bugis untuk mempertahankan stratifikasi sosial keluarga. untuk itu peran dominasi ayah dalam perkawinan dianggap (oleh patriarki) dapat membantu perempuan mewujudkan pertahanan stratifikasi sosial tersebut.
Dalam praktik dominasi tersebut, patriarki (ayah) memanfaatkan kekuatan bahasa untuk terus menguasai perempuan dan memberikan kekuasaan itu pada sistem patriarki berikutnya, yaitu suami ID.
... Berkatalah
Ali Akbar. "Bawalah istrimu wahai anakku."
Sesungguhnya semua telah diatur oleh Allah,
itu adalah milikmu untuk kamu kuasai.” (SRA: 140-141)
Perkataan Ali Akbar tersebut menjadi sumber kekuatan bagi seorang suami untuk menguasai perempuan yang telah dinikahinya. Seorang ayah menyerahkan anaknya untuk dikuasai oleh laki-laki yang menjadi suaminya. Keberadaan perempuan sebagai istri telah menjadi ketentuan Allah yang tidak dapat diubah. Konsep ’milikmu untuk kamu kuasai’ menimbulkan pengertian bahwa ayah dengan kekuatannya telah memberikan hak pada suami untuk menentukan kehidupan istri dan istri dituntut untuk selalu patuh padanya. Kepatuhan anak perempuan terhadap suaminya mengindikasikan bahwa ia telah mampu merefleksikan fungsinya sebagai agen pertahan sosial bagi keluarganya.
Perempuan Bugis: Fase Sesudah Menikah
Kehidupan seorang perempuan setelah menikah erat kaitannya dengan pemindahan kekuasaan, ayah kepada suami. Dalam fase ini, suami memiliki peranan penting dalam mengawasi dan mengontrol perempuan.[11] Otoritas yang semula dimiliki oleh seorang ayah, pada saat ini telah sepenuhnya menjadi milik suami, sehingga ia dimungkinkan untuk mendominasi kehidupan istri dalam rumah tangga. Dominasi tersebut kemudian memposisikan perempuan pada wilayah subordinasi yang menuntutnya untuk melakukan peran domestik.
Peran domestik yang melekat pada perempuan semakin menegaskan inferioritas perempuan dalam rumah tangga. Perempuan dipandang tidak lebih sebagai warga nomor dua yang tergantung pada suami. Kondisi ini cenderung menimbulkan perlakuan tidak adil atas diri seorang perempuan. Perlakuan yang diindikasikan sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pengakuan Peran Istri dalam Keluarga
Dalam masyarakat masih berlaku pandangan bahwa kedudukan dan peran istri tergantung[12] pada suami. Pembagian tugas dalam masyarakat Bugis berdasarkan konsep ‘di dalam keluarga’ (domestic) dan ‘di luar keluarga’ (public). Perempuan mendapatkan peran domestik dan laki-laki mendapatkan peran publik. Pembagian peran ini sangat besar pengaruhnya terhadap keterlibatan perempuan dalam mengambil keputusan.
Pepatah Bugis menyebutkan “wilayah perempuan adalah sekitar rumah, sedangkan ruang gerak pria adalah ‘menjulang hingga ke langit”.[13] Pepatah tersebut menjelaskan peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Aktivitas laki-laki adalah seputar pekerjaan ‘di luar rumah’ kaitannya dengan mengusahakan nafkah (sappa’ laleng atuông) bagi seluruh anggota keluarganya. Sedangkan aktivitas perempuan sebatas mengatur dan mengelola nafkah tersebut (indo’ana’). Perempuan bertugas menjalankan kewajibannya menjaga anak, menumbuk padi, memasak, mencuci, menyediakan lauk pauk, dan melayani suami sebaik-baiknya.
Menempatkan perempuan dalam posisi domestik, diperkuat oleh ajaran kristen yang mengajarkan bahwa kawin somah adalah suci. Bebel, murid Engels menyebutkan: “perempuan adalah manusia pertama yang mengalami pemasungan, perempuan sudah menjadi budak sebelum terjadi perbudakan.”[14] Dengan demikian, domestifikasi perempuan pada dasarnya tidak hanya diatur dalam tradisi, akan tetapi juga hampir di setiap agama.
Dalam naskah, meskipun tidak digambarkan peran para suami yang menempati wilayah publik, tetapi penggambaran kegiatan perempuan sehari-hari sudah cukup jelas mendefinisikan peran setiap tokoh perempuan dalam perkawinannya, yaitu sebagai seseorang yang menempati wilayah domestik.
Setelah itu Siti Rabiatul Aliyah kemudian pergi duduk di dekat anaknya
membelainya, memperbaiki kerudungnya kemudian berkata, "Wahai anak
intanku, anak jamrudku, generasi pelanjutku, lengkap sudah ilmu yang kau
miliki dan telah sempurna pula
....
akal pikiranmu, engkau juga telah melaksanakan
segala perintah Allah, perintah ayahmu dan iburnu. (SRA: 134-135)
Kedekatan yang terjalin antara ibu dan anak memperlihatkan peran ibu dalam rumah tangga, yaitu sebagai pengasuh anak. SRA tampak sebagai perempuan yang telah menjalankan perannya sebagai ibu bagi ID. Sebagai ibu, SRA menjadi perantara antara ayah dan anak dalam berkomunikasi, sebagaimana dalam pola interaksi antar ayah dan anak dalam konsep kebudayaan Bugis berikut:
Dalam hal-hal yang bertalian dengan kehidupan sehari-hari seorang ayah biasanya mendelegasikan pelaksanaan urusan rumah tangga kepada pihak istrinya, termasuk mengurus anak perempuan remaja, namun dalam kaitannya dengan urusan di luar rumah yang harus dilakukan oleh anak perempuan remaja tersebut biasanya sang ibu (istri) memintakan pendapat dan putusan terakhir dari suami (ayah).[15]
Dengan demikian, secara tersirat terlihat bahwa peran SRA dalam perkawinannya sebatas indo’ana, pengurus rumah tangga. Dalam perannya sebagai ibu rumah tangga itu pula, SRA bertugas dalam mengasuh anak. Peran perempuan seperti itu juga semakin dipertegas oleh kutipan berikut:
”Jika suaminya kembali dari tempat halwatnya,
ia langsung mengambil air di cerek kemudian mencucikan kaki suaminya,
kemudian dia melapnya dengan rambutnya
lalu bersujud di kaki suaminya.
...
Setelah itu ia lalu disuruh oleh suaminya
menghidangkan makanan.
...
... Kemudian duduklah
meladeni suaminya makan.” (SRA: 144-145, 150-151)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam sebuah keluarga ’urusan pelayanan’ hampir selalu dilaksanakan oleh istri. Perempuan tidak diakui sebagai pasangan dengan posisi yang sejajar sebagai rekanan. Perempuan justru seolah-olah hanya dipandang sebagai ’pelayan’ bagi tuannya yang tak lain adalah suaminya sendiri. Perempuan sebagai istri sepenuhnya memikul tanggung jawab atas kenyamanan suami. Istri dituntut untuk mengurus suaminya yang baru tiba di rumah, mulai dari membersihkan kakinya, menyiapkan makanan, dan menemaninya makan. Keadaan ini semakin memojokkan perempuan dalam ruang subordinasi yang sekaligus mempertegas konsep superioritas suami atas istri.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga[16] dimungkinkan muncul akibat adanya stereotip bahwa laki-laki itu maskulin dan perempuan feminim. Laki-laki menganggap dirinya lebih kuat dan hebat, sehingga mampu menguasai perempuan. Dengan demikian, dalam rumah tangga, kekerasan kerap dialami oleh perempuan sebagai makhluk dalam stereotip lemah dan mudah dikuasai.
Dalam masyarakat Bugis, kondisi ini diperparah dengan adanya pandangan bahwa dengan sompa seorang perempuan telah ‘dipertukarkan’ kebebasannya, sehingga dalam perkawinan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan laki-laki (suami). Dengan demikian, suami berhak melakukan apapun pada istri, termasuk melakukan tindak kekerasan. Hal semacam ini secara tidak disadari turut melanggengkan budaya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
Kekerasaan dalam rumah tangga menimbulkan hubungan antara suami dan istri yang tidak harmonis. Keadaan tersebut diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Menurut Susilowati bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri adalah:
(1) Kekerasan fisik, yaitu suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian, (2) kekerasan psikis, yaitu suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya, (3) kekerasan seksual, yaitu suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri, dan (4) kekerasan ekonomi, yaitu suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.[17]
Kasus kekerasan yang muncul dalam naskah dialami oleh ID. Merujuk pada batasan bentuk kekerasan di atas, dapat dikatakan bahwa sebagai istri, ID mendapatkan kekerasan fisik dan psikis. Pada awalnya, ID menerima kekerasan psikis. Syekh Bil Ma’ruf menyudutkan ID dan tidak mau mendengarkan pembelaan yang diucapkan olehnya. Selain itu, Syekh juga mengusir ID dari rumahnya.
Berkatalah Syekh Bil Ma'ruf, "Jangan banyak bicara,
aku sudah tidak mau mendengarkan perkataanmu.
Sekarang juga engkau tinggalkan tempat ini,
kembalilah ke rumahmu." Menangislah anaknya, kemudian
I Daramatasia berkata, "Kemana lagi aku harus pergi,
karena aku tidak punya harapan lagi terhadap amal baikku
kalau bukan tuan yang memaafkan kedunguanku."
Syekh Bil Ma'ruf tambah marah
kepada istrinya. Dengan wajah yang merah padam berkata,
"Pergilah, aku tidak ingin melihatmu lagi,
mengapa engkau masih tinggal di rumahku.
Berkatalah Daramatasia,"Wahai Tuanku, kemana lagi
aku harus pergi, biarkanlah hamba tinggal di sini
menjadi tukang sapu di kolong rumah tuan." (SRA: 154-155)
Kepercayaan diri ID menurun akibat pengusiran yang dilakukan Syekh Bil Ma’ruf. Kekerasan verbal yang dilakukan Syekh Bil Ma’ruf secara tidak langsung telah membuat ID merasa bahwa dirinya memang sedungu yang ditafsirkan oleh Syekh Bil Ma’ruf. ID begitu merasa ketakutan akan kehilangan status sebagai istri, ia bahkan mengajukan untuk tinggal di kolong rumah, dengan harapan tetap diakui sebagai istri. ID telah berada dalam kehancuran secara psikologis, ia merasa dirinya tidak dapat berbuat apapun untuk memperbaiki keadaan, khususnya untuk menolong dirinya sendiri.
Syekh Bil Ma’ruf menambahkan kekerasan fisik terhadap ID. Syekh Bil Ma’ruf seolah-olah tidak ingin memberi waktu bagi ID untuk mengembalikan kepercayaan dirinya yang hilang akibat kekerasan verbal yang telah dilakuka Syek Bil Ma’ruf. Berikut adalah kutipannya:
Semakin emosilah Syekh Bil Ma'rufi, tanpa sadar dia lalu
berdiri mengambil cambuk dan rotan kemudian
dia memukulkan
istrinya. la baru berhenti memukul istrinya
setelah istrinya pingsan, lama sekali barulah
istrinya sadar dan berkata, "Ya Tuhanku."
Kemudian ia dipukul lagi. Lalu dia berlari
berlindung di tiang rumah, kemudian dipukul lagi. (SRA: 155-156)
Kutipan di atas menunjukkan betapa kekerasan fisik sangat berbahaya bagi diri seseorang. ID pingsan dalam waktu yang lama setelah ia dipukul suaminya dengan menggunakan rotan. Syekh Bil Ma’ruf justru kembali memukul saat ID sadar dari pingsannya. Kasus seperti ini kerap dialami perempuan, bahkan hingga saat ini. Dalam penelitian Mursalim ditemukan bahwa bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tengga berupa kekerasan fisik yakni dipukul, ditampar. ditendang, diseret, dicekik, dikurung di kamar ; dan bentuk kekerasan psikologis yakni dihina, dicacimaki, dilecehkan, diancam, istri dan anak ditinggal suami tanpa kepastian hukum, dan dimarahi ibu mertua. Munculnya kekerasan rumah tangga dan masyarakat dipengaruni oleh faktor ekonomi lemah, kepribadian suami yang menyimpang, istri/suami menyeleweng. Istri/suami cemburu, beratnya beban rumah tangga, istri tidak merawat dirinya, suami/istri berjudi, pemabuk, adanya intervensi mertua dan tak punya pekerjaan tetap.
Dalam persoalan ini, Syekh Zainul Arifin dapat diidentifikasikan sebagai suami yang memiliki perlakuan menyimpang. Melakukan tindak kekerasan justru dianggap oleh Syekh Zainul Arifin sebagai perwujudan kekuasaan suami terhadap istri.. Ia mengusir ID dari rumahnya. Kondisi tersebut justru berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan ID. Saat Syekh merasa bahwa kekuasaannya semakin tampak, ID justru tengah menyongsong kesadaran. ID menolak untuk mengakui kekuasaan tersebut dengan berlaku sebagai korban dan terus bertahan tinggal di rumah suami yang sudah tidak menginginkannya lagi. ID sadar bahwa kekuasaan yang tengah menindasnya harus dilawan, dan wujud perlawanan yang ID ambil adalah pergi meninggalkan kediaman Syekh Zainul Arifin untuk kemudian pulang ke rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan putrinya bersama sang ayah.
”Janganlah engkau menangis
wahai anakku, tinggallah bersama ayahmu,
biarlah aku pergi membuang diriku."
Setelah dia menyusui anaknya kemudian
pergilah I Daramatasia. Tidak lama kemudian
ia telah sampai di rumah ibunya.” (SRA: 156-157)
Budaya kekerasan yang banyak dijalankan oleh patriarki (khususnya suami) tumbuh untuk mengsubordinasikan posisi perempuan di hadapan laki-laki.[18] Untuk sampai pada posisi ‘menguasai’, kekerasan yang dilakukan patriarki mendapatkan dukungan dari setiap aspek yang ada dalam kehidupan, terutama aspek tradisi dan agama. Kehadiran tradisi dan agama dijadikan sebagai konstruk yang melegitimasi perlakukan kekerasan yang menindas perempuan.
Sitti Rabiatul Aliyah: Representasi Tokoh Perempuan Bugis
Identitas seseorang tergantung pada pengakuan orang lain.[19] Artinya, setiap individu tidak dapat memahami dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Identitas tersebut muncul dari pengakuan lingkungan, di mana pengakuan tersebut merupakan proses penaklukan-diri. SRA diidentitaskan sebagai seorang perempuan sufi yang tinggi ilmu syariat, cantik, dan taat beribadahnya. Pengakuan atas identitas tersebut dalam naskah ditampilkan melalui dialog tokoh-tokoh yang muncul dalam cerita.
“Di dalam diriku tidak ada keinginan selain
ingin mendapatkan kasih sayang Allah SWT,
senantiasa mendekatkan diri kepadaNya
serta membaca Al Quran.“ (SRA: 02)
Sejak awal SRA memilih untuk hanya mencintai Allah, karena tidak ada yang lain yang lebih penting dari-Nya. Pilihan tersebut telah membawa SRA keluar dari stereotip perempuan yang menginginkan pernikahan dalam hidupnya. Meskipun pada selanjutnya terikat dalam lembaga perkawinan, paling tidak SRA telah menunjukkan bahwa seorang perempuan pada dasarnya memiliki hak memilih dan kemampuan untuk mempertahankan pilihannya. Oleh karena itu, dalam dialog-dialog lain muncul beberapa pertentangan antara SRA dengan gurunya, Syekh Zainul Arifin yang hendak menjadikannya istri.
SRA tidak menginginkan pernikahan, karena cinta baginya hanya dari dan untuk Allah, karena baginya Syekh Zainul Arifin semata-mata hanya seorang guru yang sangat dihormatinya. SRA tetap pada pilihannya sampai kemudian ia tidak mungkin lagi mempertahankan pilihan itu. Syekh menggunakan dalil agama dan kedudukannya sebagai guru untuk mendapatkan SRA.
“di dalam Al Quran yang mengatakan
”Barangsiapa yang menolak dinikahi oleh gurunya
dia adalah lawanku, dan tidak akan kuterima segala amalnya.” (SRA: 12)
Berkatalah gurunya, ”kata-kata adinda telah melampaui batas.
Suatu perbuatan yang tidak terpuji
jika seseorang menentang perkataan gurunya.
Arasy, Kursi bergetar,
ilmu yang dipelajarinya tidak mendapatkan berkah.” (SRA: 16-17)
Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana dalil-dalil (yang diatasnamakan Al Quran[20]) tersebut memojokkan SRA yang memang begitu takut pada Allah dan begitu hormat pada gurunya. Syekh Zainul Arifin seolah-olah menggunakan kelemahan SRA tersebut untuk mematahkan pertahanan SRA terhadap konsep pernikahan.
SRA tetap teguh pada pilihan hidupnya meskipun telah berada dalam lembaga perkawinan. SRA, sebagai seorang sufi, menikah dan mengarungi rumah tangga didasarkan pada cinta platonik.[21] Tidak sedikit sufi (baik laki-laki maupun perempuan) yang menikah, namun pernikahan tersebut sebenarnya hanya sekedar untuk menjalankan sunat Rasul dan bagi mereka rasa cinta yang ada tetap seutuhnya tercurah pada sang Khalik.[22] Oleh karena itu, SRA mengajukan syarat perkawinan bagi Syekh Zainul Arifin sebagai berikut.
”silahkan tuan lakukan. Hanya saja hamba meminta,
hamba tidak ingin didekati dan disentuh.
Tuan tidur di kamar tuan sendiri. Hamba mohon,
hamba jangan didekati.” (SRA: 25)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa SRA tetap menjaga pilihannya untuk hanya mencintai Allah SWT. Pernikahan yang dilangsungkan bersama gurunya dilakukan justru untuk mendekatkan dirinya dengan Allah. Selang beberapa waktu pernikahan keduanya berlangsung, Syekh Zainul Arifin wafat dan SRA kemudian menjadi seorang janda. Dalam perannya yang baru, sebagai seorang janda, SRA melanjutkan impiannya dalam beribadah.
Dalam diri SRA, terdapat kelebihan yang membuat laki-laki tertarik, yaitu kecerdasan dan kecantikan. Setelah SRA hidup sebagai janda, begitu banyak lelaki yang datang untuk meminangnya. Namun, tidak satupun berhasil membuat SRA menerima lamaran yang ditawarkan. SRA justru semakin mempertegas keinginannya untuk tidak menikah kembali. Ia tidak berniat untuk menikah selain dengan suaminya yang telah tiada, maka segenap harta kekayaan yang telah didatangkan para pelamar tidak satu pun yang diterima oleh SRA.
Penolakan yang dilakukan SRA tidak berarti sebagai tanda SRA antipati atas konsep pernikahan. SRA memandang pernikahan antar manusia sebagai sebuah ketentuan Allah yang harus dijalankan oleh setiap manusia (yang menerima ketentuan tersebut). SRA tidak menampik kemungkinan dirinya akan menikah kembali dengan seorang laki-laki yang dikirim Allah baginya. Saat laki-laki itu datang, SRA akan menerimanya sebagai suami. Namun, menjadikan seseorang yang baru dikenal sebagai suami bukan hal yang mudah. Sebagai manusia, SRA memiliki hak untuk meninjau kembali laki-laki yang datang melamarnya.
SRA mengajukan beberapa syarat (berupa beberapa pertanyaan) bagi laki-laki yang datang meminang dirinya. Pemberian syarat tersebut menunjukkan bahwa di mata SRA harta bukan ukuran dalam menjalankan sebuah perkawinan. Dalam menentukan pasangan, SRA lebih menekankan kadar keimanan laki-laki tersebut. Fakta tersebut memperlihatkan bahwa SRA menghendaki seorang suami yang bukan hanya cocok di matanya, tetapi juga di mata Allah. Kehadiran Raja Ali Akbar mampu menafsirkan hal tersebut.
Ketika Raja Ali Akbar datang untuk meminang perempuan yang mulia,[23] ia tidak menawarkan harta benda pada SRA. Bagi Ali Akbar dapat menikah dengan SRA semata-mata atas kebaikan Allah pada dirinya. SRA mampu menangkap niat baik tersebut dan adalah kerinduannya untuk selalu menjalankan ketentuan Allah SWT, termasuk untuk menikah kembali dengan Raja Ali Akbar sebagai wujud pengabdiannya sebagai seorang hamba. Sekali lagi, SRA menentukan pilihan untuk hidupnya.
Berkatalah Sitti Rabiatul Aliyah,
"Tidak ada daya dan kekuatan kita,
semuanya milik Allah.” (SRA: 80)
Keputusan menikah yang akhirnya diambil oleh SRA sangat dimungkinkan terjadi akibat pengaruh konsep siri’ yang melekat kuat dalam budaya masyarakat Bugis. Konsep siri’ memandang perkawinan sebagai sebuah keharusan, terutama bagi perempuan. Hal yang menjatuhkan siri’ jika seorang perempuan tidak menikah, karena masyarakat Bugis memandang seseorang yang tidak menikah sebagai pribadi yang tidak sempurna dan utuh.[24]
SRA hadir sebagai gambaran perempuan yang berdiri di tengah dua kekuasan, tradisi dan agama, yang mengantarkannya pada lembaga perkawinan. Untuk menyikapi persoalan tersebut, SRA memperkecil kemungkinan terjadinya praktik subordinasi laki-laki atas perempuan. SRA memilih untuk sadar bahwa selalu ada kemungkinan diskriminatif perempuan oleh laki-laki dalam rumah tangga, terlebih jika orang yang menjadi pasangannya tidak sekufu.[25] Dalam masyarakat Bugis perilaku tersebut ditunjukkan oleh komunitas Sayyid di Desa Cikoang, Makassar.[26] Sistem kafa’ah digunakan komunitas tersebut dalam menentukan jodoh, khususnya calon suami bagi seseorang perempuan. Patji dalam Sila menyampaikan bahwa:
”In preserving their genealogy, the Sayyid adopt the system kafa’ah—literally equality or marriage partner, marriage beetwen their own children...The kafa’ah applied for assimilation and maintenanceof their Sayyid status, wich regarded as their Arab identity.”[27]
Komunitas Sayyid menggunakan konsep kafa’ah dalam penentuan jodoh guna mempertahankan status mereka sebagai bagian dari keturunan Arab. Hal tersebut penting dilakukan kaitannya dengan konsep mempertahankan harkat dan martabat keluarga. Oleh karena itu, SRA memilih laki-laki yang tepat untuk dijadikan seuami. SRA menentukan sendiri nasib hidup yang akan dijalaninya sebagai wujud kesadaran untuk bangkit dan menghindari dominasi patriarki yang berlarut atas dirinya.
Paparan di atas memperlihatkan identitas perempuan Bugis sebagai pribadi yang terikat oleh kekuasaan tradisi dan patriarki. Kedua kekuasaan tersebut muncul dalam wujud keharusan menikah. Tuntutan menikah bagi seorang perempuan Bugis penekanannya lebih kepada konsep siri’, yaitu konsep yang mengutamakan harkat dan martabat dalam kehidupannya. Oleh karena itu, tidak menikah berarti mengabsahkan pandangan masyarakat terhadap dirinya sebagai manusia yang tidak sempurna atau utuh.
Berdasarkan analisis feminisme di atas, diketahui bahwa tokoh perempuan dalam cerita turut merepresentasikan perempuan Bugis. Perempuan dalam cerita menunjukkan bahwa dalam beberapa kondisi perempuan Bugis ditempatkan dalam wilayah subordinatif. Dalam masyarakat begitu banyak aspek yang mendukung keberadaan patriarki sebagai lembaga yang cenderung menempatkan perempuan sebagai warga nomor dua. Khusus dalam kasus perempuan Bugis, aspek yang secara konsisten memberikan dukungan pada patriarki adalah tradisi dan agama. Kedua aspek tersebut dalam kondisi tertentu seringkali ditafsirkan secara tidak tepat, sehingga menghasilkan makna teks yang menyudutkan posisi perempuan.
Subordinasi yang diterima oleh perempuan Bugis direpresentasikan dalam cerita sebagai sebuah proses penekanan yang terstruktur. Perempuan Bugis sudah berada dalam genggam kuasa patriarki sejak ia masih berada dalam keluarganya. Fase sebelum menikah merupakan saat yang tepat bagi orang tua (ayah) untuk mendominasi kehidupan seorang perempuan. Adapun fase sesudah menikah adalah sepenuhnya digunakan suami untuk menempatkan perempuan pada wilayah domestik dalam kehidupan rumah tangga. Kedua tahap dominasi tersebut tentunya tidak berdiri sendiri, karena tradisi dan agama memiliki peranan penting dalam menghidupkan kekuasaan patriarki dalam kehidupan perempuan.
Kesimpulan
Perempuan Bugis dalam naskah Sitti Rabiatul Aliyah direpresentasikan sebagai perempuan yang melewati dua fase kehidupan, yaitu sebelum dan sesudah menikah. Kedua fase tersebut didominasi oleh laki-laki (ayah dan suami) yang didukung oleh kekuatan tradisi dan agama, sehingga perempuan cenderung mendapatkan posisi subordinatif.
Dalam lembaga perkawinan, kelas sosial yang semula telah ditempati oleh keluarga sangat dipengaruhi jodoh yang diperoleh seorang perempuan. Jodoh yang sekufu dianggap sebagai solusi yang harus perempuan ambil untuk tetap mempertahankan stratifikasi sosial yang disandang keluarga. Oleh karena itu, keluarga (ayah) kerap mendominasi pemilihan jodoh bagi perempuan demi mendapatkan jodoh yang sekufu, sehingga perempuan terus berada di wilayah subordinasi di bawah kekuasaan dan kontrol laki-laki.
Nilai siri’ yang melekat dalam masyarakat Bugis menempatkan perempuan dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, perempuan dituntut untuk mempertahankan martabat keluarga. Namun, di sisi lain, perempuan dikhawatirkan akan melakukan perbuatan tidak terpuji (menurut ukuran masyarakat Bugis), sehingga dalam keseharian perempuan perlu betul untuk mendapatkan penjagaan dan pengawasan laki-laki (ayah dan seluruh anggota keluarga laki-laki lainnya). Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem patriarki dalam masyarakat Bugis memandang perempuan sedemikian lemahnya, bahkan untuk menjaga nilai siri’ yang dibebankan padanya.
Dengan demikian, penelitian dengan menggunakan pendekatan feminis patut dilakukan, tidak terkecuali dalam karya sastra melayu klasik. Kehadiran konflik atas perempuan dalam naskah menjadi pertanda bahwa sudah sejak lama perempuan diperlakukan sebagai objek ketertindasan dalam berbagai aspek, khususnya dalam tradisi dan agama. Naskah SRA mengajak pembaca untuk melihat bahwa ketertindasan muncul dalam beragam definisi bergantung pada wilayah di mana perempuan itu berada. Semoga kajian kesastraan melayu klasik ini dapat bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia.
Referensi
Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar: Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.
Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Attas, Sitti Gomo. 2006. Aparatur Teks Sitti Rabiatul Aliyah dan Penelusuran Muatan Lokal. Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Broto. Jangan ‘Kerasi’ Perempuan Lewat Agama. http://www.menkokesra.go.id/content/view/3826/39/.
Dahlan, Abdul Azis [ed.]. 1997. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
F. Awuy, Tommy. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. Yogyakarta: Jantera Wacana Publika.
Hascaryo, Anto. Agama Pendukung Dominasi Laki-laki Atas Perempuan?. http://gkjwcaruban.org/refleksi/agama-pendukung-dominasi-laki-laki-atas-perempuan.html.
Kesselman, etc., 1995. Woman Images And Realities. California: Mayfield Publishing Company.
M. Gross. 1996. Feminism and Religion. Boston: Beacon Press.
Monografi Daerah Sulawesi Selatan. 1990. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Niswati, Andi. 2000. Perempuan dalam Budaya Mappasitaro Studi Kasus Perkawinan bermasalah Perempuan Bugis yang dijodohkan di Sulawesi Selatan. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Pelras, Christian. 2005. Manusia Bugis. Abdul Rahman Abu (terjemahan). Jakarta: Nalar.
Sarup, Madan. 2008. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra.
Sila, M. Adlin. Gender and Ethnicity in Sayyid Community of Cikoang, South Sulawesi: Kafa’ah, a Marriage System among Sayyid Females dalam Antropologi Indonesia: Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology. (Vol. 29, No. 1. Januari, 2005).
Smith, Margareth. 1997. Rabiah Pergulatan Spiritual Perempuan. Surabaya: Risalah Gusti.
Susilowati, Pudji. Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Istri. http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=475.
Susetya, Wawan. 2007. Cakramanggilingan: Makna Hidup dalam Kearifan Tradisional. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ulfah Anshor, Maria [ed.]. 2004. Tafsir Ulang Perkawinam Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Plurarisme. Jakarta: KAPAL Perempuan.
[1] Pelras, Manusia Bugis, Abdul Rahman Abu (terjemahan), (Jakarta: Nalar, 2005), hlm. 186.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 188.
[4] Pada dasarnya Teks Rabiah itu sendiri memiliki banyak versi—di samping versi aslinya, yaitu: (1) versi Melayu dengan judul Hikayat Rabi’ah, disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dengan nomor kode ML. 42, (2) versi Bugis: Kisah Rabiatul Aliyah yang terdapat dalam Rol 29 No.8 dan Kisah Sitti Rabiatul Adawiyah yang terdapat dalam Rol 82 No. 5. Pemilihan objek pada penelitian ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Sitti Gomo Attas yang setelah melakukan kritik teks dengan membandingkan naskah Rol 29 No. 8 dengan Rol 82 No.5. Perbandingan tersebut berujung pada sebuah simpulan bahwa naskah Rol 29 No.8 adalah naskah yang paling layak untuk dibuat suntingan dan untuk selanjutnya diteliti lebih lanjut, karena naskah tersebut memiliki ciri adat Bugis yang lebih kental dan juga yang paling sedikit memiliki kesalahan penulisan. Dan naskah yang dijadikan objek dalam tulisan ini (Rol 29 No.8) ditransliterasikan oleh Sitti Gomo Attas dalam penelitiannya, sedangkan Rol 82 No.5 telah ditransiletrasikan sebelumnya oleh M. Yunus dkk. dalam Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional Sulawesi Selatan Tahun 1999. Sebagai naskah lama, teks Rabiah tidak diketahui siapa pengarangnya (anonim). Begitu pula dengan tahun terbitnya. Meskipun demikian, kisah SRA merupakan kisah yang sangat populer, terlebih karena teks Rabiah, baik versi Melayu maupun Bugis, merupakan cerita yang diadaptasikan dari cerita Rabiah versi Arab yang dikarang oleh Muhd. Athiyah Khumais pada tahun 1377 H. Teks Rabiah yang akan menjadi objek dalam penelitian ini adalah teks yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sesuai dengan pola sastra Bugis, teks Rabiah ini berbentuk puisi naratif yang memiliki metrum setiap penggal frasa terdiri dari 8 suku kata atau lebih. Sebagai cerita yang masih dapat dikategorikan sebagai cerita rakyat, teks Rabiah merupakan cerita yang memiliki rangkaian peristiwa yang panjang, sehingga dalam satu cerita terdiri dari beberapa episode.[4] Batas episode dalam teks Rabiah ditandai dengan kalimat-kalimat seperti: ”purai kua, ripalelesi paue” yang maknanya kurang lebih sama dengan kalimat ”kita tinggalkan cerita, kita berpaling ke cerita”.[4] Dengan demikian, dalam 162 halaman, teks Rabiah Rol 29 No.8 terbagi atas delapan episode.
[5] Niswati, Perempuan dalam Budaya Mappasitaro Studi Kasus Perkawinan Bermasalah Perempuan Bugis yang Dijodohkan di Sulawesi Selatan, (Jakarta: Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000), hlm. 23-24.
[6] Wawancara dengan Andi Zainal Abidin, Makassar, 30-10 2000, dalam Niswati, Ibid., hlm. 39.
[7] Kesselman, etc., Woman Images And Realities, (California: Mayfield Publishing Company, 1995), hlm. 183.
[8] Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2006), hlm. 445.
[9] Monografi Daerah Sulawesi Selatan, 1990. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, hlm. 82.
[10] Perlindungan tersebut diberikan dalam norma aturan yang mengikat perempuan Bugis. Hal ini tampak pada aturan yang menyatakan bahwa seorang gadis sering keluar rumah tanpa ada sesuatu keperluan yang jelas menurut ukuran orang tua, ia dianggap memalukan. Selain itu, adat juga melarang seorang perempuan jalan beriringan dengan pemuda. Di Jeneponto, seorang gadis yang berbuat demikian, berjalan beriringan dengan seorang pemuda yang bukan muhrimnya, biasanya langsung dipaksa kawin. Kecuali, pasangan tersebut dianggap tidak serasi menurut orang tua kedua belah pihak (Monografi Wilayah Sulawesi Selatan, Ibid., hlm. 47).
[11] Dalam konsep Islam suami adalah imam keluarga. Artinya, seorang suami bertanggung jawab untuk mengontrol istri. Di sini, laki-laki merasa memiliki wewenang untuk membangun aturan-aturan, sebab ia adalah kepala keluarga sebagai figur yang produktif dibandingkan perempuan.
[12] Pola ketergantungan mengandung arti bahwa dalam masyarakat terdapat lapisan kelompok manusia yang berkedudukan atas dan bawah. Menurut Muniarti, lapisan yang di atas (suami) mempunyai kesempatan ‘melakukan segala sesuatu’ untuk menetukan atau mengatur kelompok manusia yang berada di lapisan bawah (istri): (Muniarti, Perempuan Indonesia dan Pola Ketergantungan, hlm. 19-29, dalam Santoso (Ed.), Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa),(Yogyakarta: Kanisius, 1992).
[13] Pelras, Op.Cit., hlm. 186.
[14] Karen V. Hansen & Illene J. Philipson, Women, Class, and the Feminist Imagination, hlm. 47 dalam Murniati, Getar Gender Buku Pertama,(Magelang: IndonesiaTera, 2004), hlm. 227.
[15] Pola Pengasuhan Anak dalam Keluarga,
[16] KDRT yang dimaksud mengacu pada kekerasan terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga (Susilowati, Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Istri, http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=475).
[17] Susilowati, Ibid.
[18] Secara tradisional, kekuasaan sering dipahami dalam pengertian negatif dan dilihat terutama sebagai mekanisme peradilan: yakni yang mendasari hokum, yang membatasi, menghalangi, menolak, melarang, dan menyensor. Kekuasaan mengandaikan penguasa yang perannya melarang: berkuasa berarti berhak melarang (Sarup, Postrukturalisme dan Posmodernisme, [Yogyakarta: Jalasutra, 1993], hlm. 111)
[19] Sarup, Madan, Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme. (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 12.
[20] Kedua dalil tersebut bukan salah satu ayat dalam Al Quran.
[21] Smith, Rabiah Pergulatan Spiritual Perempuan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hlm. 161.
[22] Tercatat beberapa tokoh sufi yang memilih untuk menikah di antaranya adalah Ummu Haram dari Siprus yang menikah dengan ‘Ubaydah bin ash-Shamit, Mu’adzah al-Adawiyah yang menikah dan memiliki anak, serta Rabi’ah binti Isma’il dari Syria yang menikah dengan Ahmad bin Abi al-Hawwari. Yang perlu dicermati adalah bahwa kisah Rabi’ah dari Syria sangat identik dengan tokoh SRA. Sebelum menikah dengan Ahmad bin Abi al-Hawwari, Rabi’ah sudah pernah menikah dan memiliki harta sebanyak 300.000 dinar dari peninggalan suami pertamanya. Uang itu kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka berdua. Rabi’ah pernah berkata pada suaminya, “Aku tidak mencintaimu sebagaimana seorang istri terhadap suami, tetapi cinta kepadamu bagaikan seorang saudara perempuan, dan gairahku kepadamu hanyalah untuk melayanimu (dalam Smith, hlm. 158-161).
[23] Terdapat tujuh kriteria mulia bagi seorang perempuan: (1) mulia karena kecantikannya; (2) mulia karena melimpahnya harta dunia; (3) mulia karena tahtanya; (4) mulia karena ilmunya yang luas; (5) mulia karena berasal dari keturunan bangsawan; (6) mulia karena kepemimpinannya; dan (7) mulia karena ketakwaannya pada Allah (dalam Susetya, Wawan. 2007. Cakramanggilingan: Makna Hidup dalam Kearifan Tradisional. Yogyakarta: Kreasi Wacana. hlm. 274-277).
[24] Dalam monografi Sulawesi selatan tercatat bahwa pernikahan bagi masyarakat Bugis adalah suatu peristiwa yang harus dilalui oleh setiap orang, sesuatu yang dianggap suci. Tidak kawin merupakan aib, baik untuk dirinya sendiri bahkan untuk keluarganya (Monografi Sulawesi Selatan, Op.Cit., hlm. 47).
[25] Kufu berasal dari bahasa Arab kafa’ah yang berarti sebanding atau setaraf atau sesuai. Pernikahan laki-laki dan perempuan yang sekufu diharapkan mampu menghindarkan perkawinan dari perselisihan pendapat di antaranya (Dahlan [ed.], Ensiklopedia Hukum Islam, [Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1997]).
[26] Sila, Gender and Ethnicity in Sayyid Community of Cikoang, South Sulawesi: Kafa’ah, a Marriage System among Sayyid Females dalam Antropologi Indonesia: Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology, (Vol. 29, No. 1. Januari, 2005), hlm. 56.
[27] Sila, Ibid., hlm. 57.