Rabu, 13 Agustus 2014

14 Agustus 2014

Siapkan cokelat, tapi yang bersahaja
tidak hanya sekadar manis seperti biasanya

pakaikan cokelat,
berpadu indah dengan merah dan putih
lengkap dengan hiasan-hiasan kecil di muka

Bersama, kita buat lautan cokelat
yang manis, bersahaja, dan kokoh


Selamat hari Pramuka!

Selasa, 12 Agustus 2014

RULINDA


Cerpen: Imas Uliyah

 
Dan belum juga dapat kupejamkan kedua kelopak mata ini.
Wajah rupawan yang berhiaskan seuntai senyum cemerlang itu masih juga
mengajakku bercengkrama, menghitung setiap detik menjelang perjumpaan.
Itukah kau Rulinda?

“Dan jadilah dalam hidupku ada dua Linda!”
                                                                   

Awan gelap masih menggelayuti langit dusun. Walaupun sudah dianggap menurun, namun Merapi masih Nampak memperlihatkan keganasannya. Penduduk desa telah beringsut kembali ke kehidupannya semula. Pulang ke rumah yang cukup lama terabaikan.
Satu lagi hari terlewati. Hari itu pun semakin dekat adanya. Hanya tinggal satu senja lagi, maka tibalah hari itu. Hari mengucapkan janji untuk arungi ikatan suci.
Tapi, justru di sinilah diriku ini. Menjumpai Linda yang lain. Linda yang selalu menarik perhatianku bahkan semenjak belum kukenal tempat ini. Sihir yang diayunkan dari tongkatnya mengundang banyak orang untuk turut mereguk kenikmatan darinya.
Terkadang kuberanikan juga untuk mengutil waktuku mengurus para pengungsi. Berlama-lama jauh darinya sungguh membuat nestapa. Karenanya, beruntung bagiku jika dapat berada di sekitar perkemahan Bebeng. Memperhatikannya dari kejauhan. Menikmati setiap inci tubuhnya seolah-olah aku sedang berada dalam rengkuhannya. Jadilah kini ada dua Linda dalam hidupku. Oh….Rulinda, betapa aku tergila-gila padamu.
Tadi malam dapat kulihat dengan sepuas-puasnya wajah Rulinda. Ah…maafkan aku Linda, aku hanya manusia biasa yang selalu berkeinginan. Tapi hanya sekejap, ketakjubanku pada Rulinda langsung terganti oleh keangkerang yang mencekam. Bergegas kutinggalkan Rulinda sendiri dalam gelap malam.

 *   *   *
Ah…Rulinda hingga saat ini kau tak henti-hentinya menggodaku. Nampaknya kau tahu betul kalau sebenarnya, jauh di dasar hati ini aku sangat tertarik padamu. Tunggulah, saat ini masih banyak yang harus kulakukan untuk orang-orang di dusun ini. Bukankah kau ada memang untuk menunggu?
Seperti hari yang sudah-sudah—ya…meski sudah tidak seramai kemarin—aku berkeliling ke barak-barak pengungsian yang sudah terlihat agak lengang. Banyak orang yang telah kembali ke rumahnya masing-masing. Merapi sudah tidak awas lagi. Kita hanya perlu siaga saat menungguinya. Fuihh…setidaknya hari ini bisa bersantai sejenak. Menyusuri perkemahan Bebeng. Mencari sosok yang telah membelenggu hati. Ya…di sanalah Rulinda berada. Dan aku sangat ingin menjumpainya.
Siang ini kuputuskan untuk menghabiskan siangku di sekitar perkemahan Bebeng. Tentu saja itu agar dapat berdekatan dengan Rulindaku. Perlu keberanian diri untuk menatap Rulinda yang saat ini berada begitu dekat denganku. Bukan…bukan karena aku merasa bersalah pada Linda, calon mempelai wanita yang telah kutinggalkan.
Kini aku telah begitu dekat dengannya. Dari tempat yang tak lebih  meter jaraknya ini dapat kutangkap Rulinda yang tengah menyunggingkan senyuman manisnya. Ada laki-laki lain di hadapannya. Warsito. Hei…Apakah dia juga tergila-gila pada Rulindaku? Ah…ada-ada saja pikiran yang keluar dari kepalaku ini. Tidak mungkin ada orang yang segila diriku. Apalagi dia, Warsito. Seorang anggota Palem senior yang disegani oleh hampir seluruh junior Palem, termasuk aku di dalamnya.
Terdorong oleh rasa ingin tahu yang kuat, maka kuhampiri dia.
“Apa yang Mas lakukan di sini?”
“Kau lihat itu,” ucapnya sambil menunjukkan ibu jarinya ke arah perkemahan Bebeng—ah…dasar orang Jawa, pikirku.
“Terdapat kehidupan di balik pintu itu. Di sana tertanam sebuah bunker.”
Tentu saja aku tahu, bukankah justru karena itu sekarang aku ada di hadapanmu? Ya…Aku sedang menikmati setiap lekuk itu lekat-lekat dari tadi, sejak mata ini belum menangkap sosokmu di sini. Ah…Apakah kau juga tergila-gila pada Rulindaku? Dan pertanyaan itu kembali terbesit dalam pikiranku.
“Ru…Ru…Linda,” ucapku mencoba mendapat sesuatu, entah apa. Mungkin tentang Rulinda itu.
“Ya…apalah namanya. Yang jelas aku akan masuk ke dalam sana, bunker itu, Rulinda itu, jika sesuatu yang buruk terjadi.” Oh…ternyata dugaanku tak meleset. Dia juga menginginkan Rulinda seperti aku. Ah…tentu saja. Sebenarnya aku harusnya tidak terkejut saat mengetahui tidak hanya aku yang menginginkan Rulinda itu. Bukankah semua orang ingin tetap hidup. Dan kurasa Warsito berpikiran sama denganku, Rulinda dapat memenuhi keinginan kita untuk tetap hidup jika situasi yang paling buruk terjadi.
“Ah…tapi memangnya Merapi kali ini akan meletus?” selorohku, mengingat bahwa Rulinda ini adalah warisan Merapi 12 tahun silam dan Nampak sudah tidak pernah difungsikan lagi.
Wis, pokoknya sekarang kamu tahu kalau aku akan berlindung ke dalam bunker itu. Perkara kamu mau ikut atau tidak, itu urusanmu to?”

*   *   *
Dan terjadilah peristiwa itu. Awan panas menyembur dari puncak Merapi. Sesaat semuanya menjadi hiruk pikuk. Semua tunggang langgang mencari perlindungan untuk dirinya masing-masing. Aku dan relawan lain disibukkan dengan proses evakuasi penduduk yang saat itu sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Tadi pagi mereka dipulangkan karena kondisi Merapi dinyatakan sudah tidak berbahaya.
Dari kejauhan kulihat seseorang melambaikan tangan di depan sana. Ah...itu Warsito. Dia berada tepat di hadapan Rulinda. Di samping kanannya Nampak motor bebek miliknya telah tergolek. Saat aku sampai di hadapan Rulindaku, Warsito telah menuruni tangga menuju pintu kedua. Masih berburu dengan waktu dan gemuruh debu, di kanan dan kiriku sudah tidak ada lagi warga penduduk Kepuharjo. Mereka tak mau mendengar ajakanku untuk masuk ke dalam bunker.
Jadi, di sinilah aku sekarang. Rulinda yang kuidam-idamkan akan segera kumiliki. Dengan penuh keyakinan aku melangkah ke pintu pertama, pintu yang terbuat dari rajutan kawat. Tapi, saat itu sesosok yang tubuhnya dikelilingi cahaya keluar dari dalam Rulinda. Dia menarik lenganku keras-keras. Membawaku berlari setengah melayang menjauh dari bunker itu.
“Tidak…aku akan mati jika tidak masuk ke dalam bunker itu.” Bantahku sambil berusaha melepaskan genggaman tangan yang ternyata adalah milik seorang gadis.
“Percayalah, dia bukanlah Lindamu” ucapnya sambil membalikkan separuh badannya dan memberiku setoreh keyakinan, entah pada apa. Dan selanjutnya yang kuingat hanyalah cairan merah yang mengepul menyerbu perkemahan Bebeng, menyapu serta Rulindaku.
Cahaya itu membuat mataku berkedip. Di kanan dan kiriku kini tampak sosok-sosok yang kukenali. Kepala Desa Kepuharjo melemparkan senyum kepadaku. Di sampingnya kulihat beberapa warga Kepuharjo yang tadi menolak ikut ke bunker juga membalut wajah mereka dengan senyum yang merekah. Aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya hingga sampai ke tempat ini.
Ah….wanita itu, ya…wanita itu yang menuntunku untuk terus berlari. Di manakah dia? Apakah dia telah berubah menjadi cahaya sebagaimana kemunculannya? Cahaya yang sama dengan yang kulihat saat membuka mati ini. Apakah sebenarnya semua ini?
“Sudah to le, jangan seperti orang kemasukan begitu! Wong sekarang kamu sudah di sini, selamat dari guyuran larva Merapi. Untung kamu cepat meninggalkan bunker itu! Wis, yang banyak syukur sama gusti Allah, masih dikasih lolos dari maut.” Lamat-lamat kudengar suara Pak Kades.
“Lha iya, coba kamu jadi berlindung ke dalam bunker itu. Wis nda tahu sekarang ini keadaan kamu bagaimana. Lha…wong bunker itu dibuat BP3P cuma untuk tempat berlindung sementara kalau Merapi nyemburin awan panas. Belum pasti ketahanannya kalau larva ikut-ikutan lewat dan menguburnya.” Lanjut Pak Kades dengan penuh keyakinan. Membuat semua orang dalam ruangan mengangguk-anggukan kepala.
Ah…badan ini tidak dapat kugerakkan. Sudah tidak ada lagi tenaga di sana. Dan mataku lebih memilih untuk terpejam. Dan mulailah sekelilingku melangking.

*   *   *
Dua Relawan Terjebak di Bunker Bersuhu 300 derajat. Keduanya masih tertimbun di bunker sejak Rabu (14/6) petang dan belum diketahui nasibnya hingga berita ini diturunkan.

Badanku lemas terkulai. Lembaran  Koran dalam genggamanku jatuh berserakan mengenai kakiku. Oh, apakah itu Mas Warsito? Apa ada orang lain yang diajaknya masuk ke dalam Rulinda, hmm…maksudku bunker itu? Aku sudah tidak boleh lagi mengingat atau menyebut namanya. Aku harus ke sana, ke tempat itu. Aku harus pastikan keadaan Mas Warsito.
Kupandangi sekelilingku. Kaliadem yang biasanya sejuk berubah menjadi panas, bau belerang menyengat dan material merapi yang tumpah di tempat itu masih mengepulkan asap. Hutan di sekeliling kawasan yang dulunya hijau memutih. Dari kejauhan kulihat banyak orang, mungkin tim SARDA DIY, mencoba untuk mendekati bunker.
Dengan sepatu boot tahan api, mereka menyusuri kawasan itu. Setiap lima menit sekali, sepatu itu dicelupkan ke ember berisi air agar tidak terbakar. Keganasan suhu panas memaksa mereka berganti sepatu berkali-kali. Namun, usaha mereka tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya mereka berjalan di atas kayu balok.
Dan selanjutnya aku tidak tahu lagi bagaimana kelanjutan pencarian itu. Aku terpaku pada sosok seorang gadis yang tersenyum dengan begitu cantiknya, ia berdiri di satu titik hamparan pasir panas. Rulindakah ia? Sekejap kemudia kulihat gadis itu menjadi cahaya, menjawab semua Tanya. Dia telah membawa serta Mas Warsito dan satu relawan lain yang entah siapa namanya.
“Ah…Mas Warsito sekarang berada dalam pelukan hangat seorang gadis cantik.” Ucapku menenangkan pikiran.
Aku membalikkan badan, pergi menjauh dari perkemahan Bebeng. Meninggalkan Rulinda yang kini tidak lagi sendirian.
“Halo…ini aku. Aku baik-baik saja. Aku mencintaimu. Hanya kamu Lindaku!” dan kurasai pipi ini basah. Sekali lagi rahmat-Mu menghampiriku.

21 Juni 2006
Untuk Ode yang suka mencium pipiku