Cerpen: Imas Uliyah
Dan belum juga dapat kupejamkan kedua kelopak mata
ini.
Wajah rupawan yang berhiaskan seuntai senyum
cemerlang itu masih juga
mengajakku bercengkrama, menghitung setiap detik
menjelang perjumpaan.
Itukah kau Rulinda?
“Dan jadilah dalam hidupku ada dua Linda!”
Awan gelap masih menggelayuti langit dusun. Walaupun
sudah dianggap menurun, namun Merapi masih Nampak memperlihatkan keganasannya. Penduduk
desa telah beringsut kembali ke kehidupannya semula. Pulang ke rumah yang cukup
lama terabaikan.
Satu lagi hari terlewati. Hari itu pun semakin
dekat adanya. Hanya tinggal satu senja lagi, maka tibalah hari itu. Hari mengucapkan
janji untuk arungi ikatan suci.
Tapi, justru di sinilah diriku ini. Menjumpai Linda
yang lain. Linda yang selalu menarik perhatianku bahkan semenjak belum kukenal
tempat ini. Sihir yang diayunkan dari tongkatnya mengundang banyak orang untuk
turut mereguk kenikmatan darinya.
Terkadang kuberanikan juga untuk mengutil waktuku
mengurus para pengungsi. Berlama-lama jauh darinya sungguh membuat nestapa. Karenanya,
beruntung bagiku jika dapat berada di sekitar perkemahan Bebeng. Memperhatikannya
dari kejauhan. Menikmati setiap inci tubuhnya seolah-olah aku sedang berada
dalam rengkuhannya. Jadilah kini ada dua Linda dalam hidupku. Oh….Rulinda,
betapa aku tergila-gila padamu.
Tadi malam dapat kulihat dengan sepuas-puasnya
wajah Rulinda. Ah…maafkan aku Linda, aku hanya manusia biasa yang selalu
berkeinginan. Tapi hanya sekejap, ketakjubanku pada Rulinda langsung terganti
oleh keangkerang yang mencekam. Bergegas kutinggalkan Rulinda sendiri dalam
gelap malam.
* * *
Ah…Rulinda hingga saat ini kau tak henti-hentinya
menggodaku. Nampaknya kau tahu betul kalau sebenarnya, jauh di dasar hati ini
aku sangat tertarik padamu. Tunggulah, saat ini masih banyak yang harus
kulakukan untuk orang-orang di dusun ini. Bukankah kau ada memang untuk
menunggu?
Seperti hari yang sudah-sudah—ya…meski sudah tidak
seramai kemarin—aku berkeliling ke barak-barak pengungsian yang sudah terlihat
agak lengang. Banyak orang yang telah kembali ke rumahnya masing-masing. Merapi
sudah tidak awas lagi. Kita hanya perlu siaga saat menungguinya. Fuihh…setidaknya
hari ini bisa bersantai sejenak. Menyusuri perkemahan Bebeng. Mencari sosok
yang telah membelenggu hati. Ya…di sanalah Rulinda berada. Dan aku sangat ingin
menjumpainya.
Siang ini kuputuskan untuk menghabiskan siangku di
sekitar perkemahan Bebeng. Tentu saja itu agar dapat berdekatan dengan
Rulindaku. Perlu keberanian diri untuk menatap Rulinda yang saat ini berada
begitu dekat denganku. Bukan…bukan karena aku merasa bersalah pada Linda, calon
mempelai wanita yang telah kutinggalkan.
Kini aku telah begitu dekat dengannya. Dari tempat
yang tak lebih meter jaraknya ini dapat
kutangkap Rulinda yang tengah menyunggingkan senyuman manisnya. Ada laki-laki
lain di hadapannya. Warsito. Hei…Apakah dia juga tergila-gila pada Rulindaku? Ah…ada-ada
saja pikiran yang keluar dari kepalaku ini. Tidak mungkin ada orang yang segila
diriku. Apalagi dia, Warsito. Seorang anggota Palem senior yang disegani oleh
hampir seluruh junior Palem, termasuk aku di dalamnya.
Terdorong oleh rasa ingin tahu yang kuat, maka
kuhampiri dia.
“Apa yang Mas lakukan di sini?”
“Kau lihat itu,” ucapnya sambil menunjukkan ibu
jarinya ke arah perkemahan Bebeng—ah…dasar orang Jawa, pikirku.
“Terdapat kehidupan di balik pintu itu. Di sana
tertanam sebuah bunker.”
Tentu saja aku tahu, bukankah justru karena itu
sekarang aku ada di hadapanmu? Ya…Aku sedang menikmati setiap lekuk itu
lekat-lekat dari tadi, sejak mata ini belum menangkap sosokmu di sini. Ah…Apakah
kau juga tergila-gila pada Rulindaku? Dan pertanyaan itu kembali terbesit dalam
pikiranku.
“Ru…Ru…Linda,” ucapku mencoba mendapat sesuatu,
entah apa. Mungkin tentang Rulinda itu.
“Ya…apalah namanya. Yang jelas aku akan masuk ke
dalam sana, bunker itu, Rulinda itu, jika sesuatu yang buruk terjadi.” Oh…ternyata
dugaanku tak meleset. Dia juga menginginkan Rulinda seperti aku. Ah…tentu saja.
Sebenarnya aku harusnya tidak terkejut saat mengetahui tidak hanya aku yang
menginginkan Rulinda itu. Bukankah semua orang ingin tetap hidup. Dan kurasa
Warsito berpikiran sama denganku, Rulinda dapat memenuhi keinginan kita untuk
tetap hidup jika situasi yang paling buruk terjadi.
“Ah…tapi memangnya Merapi kali ini akan meletus?”
selorohku, mengingat bahwa Rulinda ini adalah warisan Merapi 12 tahun silam dan
Nampak sudah tidak pernah difungsikan lagi.
“Wis, pokoknya
sekarang kamu tahu kalau aku akan berlindung ke dalam bunker itu. Perkara kamu
mau ikut atau tidak, itu urusanmu to?”
* * *
Dan terjadilah peristiwa itu. Awan panas menyembur
dari puncak Merapi. Sesaat semuanya menjadi hiruk pikuk. Semua tunggang
langgang mencari perlindungan untuk dirinya masing-masing. Aku dan relawan lain
disibukkan dengan proses evakuasi penduduk yang saat itu sudah kembali ke
rumahnya masing-masing. Tadi pagi mereka dipulangkan karena kondisi Merapi dinyatakan
sudah tidak berbahaya.
Dari kejauhan kulihat seseorang melambaikan tangan
di depan sana. Ah...itu Warsito. Dia berada tepat di hadapan Rulinda. Di samping
kanannya Nampak motor bebek miliknya telah tergolek. Saat aku sampai di hadapan
Rulindaku, Warsito telah menuruni tangga menuju pintu kedua. Masih berburu
dengan waktu dan gemuruh debu, di kanan dan kiriku sudah tidak ada lagi warga
penduduk Kepuharjo. Mereka tak mau mendengar ajakanku untuk masuk ke dalam
bunker.
Jadi, di sinilah aku sekarang. Rulinda yang
kuidam-idamkan akan segera kumiliki. Dengan penuh keyakinan aku melangkah ke
pintu pertama, pintu yang terbuat dari rajutan kawat. Tapi, saat itu sesosok yang
tubuhnya dikelilingi cahaya keluar dari dalam Rulinda. Dia menarik lenganku
keras-keras. Membawaku berlari setengah melayang menjauh dari bunker itu.
“Tidak…aku akan mati jika tidak masuk ke dalam
bunker itu.” Bantahku sambil berusaha melepaskan genggaman tangan yang ternyata
adalah milik seorang gadis.
“Percayalah, dia bukanlah Lindamu” ucapnya sambil
membalikkan separuh badannya dan memberiku setoreh keyakinan, entah pada apa. Dan
selanjutnya yang kuingat hanyalah cairan merah yang mengepul menyerbu
perkemahan Bebeng, menyapu serta Rulindaku.
Cahaya itu membuat mataku berkedip. Di kanan dan
kiriku kini tampak sosok-sosok yang kukenali. Kepala Desa Kepuharjo melemparkan
senyum kepadaku. Di sampingnya kulihat beberapa warga Kepuharjo yang tadi
menolak ikut ke bunker juga membalut wajah mereka dengan senyum yang merekah. Aku
sendiri tidak tahu bagaimana caranya hingga sampai ke tempat ini.
Ah….wanita itu, ya…wanita itu yang menuntunku untuk
terus berlari. Di manakah dia? Apakah dia telah berubah menjadi cahaya
sebagaimana kemunculannya? Cahaya yang sama dengan yang kulihat saat membuka
mati ini. Apakah sebenarnya semua ini?
“Sudah to le,
jangan seperti orang kemasukan begitu! Wong
sekarang kamu sudah di sini, selamat dari guyuran larva Merapi. Untung kamu
cepat meninggalkan bunker itu! Wis, yang
banyak syukur sama gusti Allah, masih dikasih lolos dari maut.” Lamat-lamat
kudengar suara Pak Kades.
“Lha iya, coba kamu jadi berlindung ke dalam bunker
itu. Wis nda tahu sekarang ini
keadaan kamu bagaimana. Lha…wong bunker
itu dibuat BP3P cuma untuk tempat berlindung sementara kalau Merapi nyemburin
awan panas. Belum pasti ketahanannya kalau larva ikut-ikutan lewat dan
menguburnya.” Lanjut Pak Kades dengan penuh keyakinan. Membuat semua orang
dalam ruangan mengangguk-anggukan kepala.
Ah…badan ini tidak dapat kugerakkan. Sudah tidak
ada lagi tenaga di sana. Dan mataku lebih memilih untuk terpejam. Dan mulailah
sekelilingku melangking.
* * *
Dua Relawan
Terjebak di Bunker Bersuhu 300 derajat. Keduanya masih tertimbun di bunker
sejak Rabu (14/6) petang dan belum diketahui nasibnya hingga berita ini
diturunkan.
Badanku lemas terkulai. Lembaran Koran dalam genggamanku jatuh berserakan
mengenai kakiku. Oh, apakah itu Mas Warsito? Apa ada orang lain yang diajaknya
masuk ke dalam Rulinda, hmm…maksudku bunker itu? Aku sudah tidak boleh lagi
mengingat atau menyebut namanya. Aku harus ke sana, ke tempat itu. Aku harus
pastikan keadaan Mas Warsito.
Kupandangi sekelilingku. Kaliadem yang biasanya
sejuk berubah menjadi panas, bau belerang menyengat dan material merapi yang
tumpah di tempat itu masih mengepulkan asap. Hutan di sekeliling kawasan yang
dulunya hijau memutih. Dari kejauhan kulihat banyak orang, mungkin tim SARDA
DIY, mencoba untuk mendekati bunker.
Dengan sepatu boot tahan api, mereka menyusuri
kawasan itu. Setiap lima menit sekali, sepatu itu dicelupkan ke ember berisi
air agar tidak terbakar. Keganasan suhu panas memaksa mereka berganti sepatu
berkali-kali. Namun, usaha mereka tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya mereka
berjalan di atas kayu balok.
Dan selanjutnya aku tidak tahu lagi bagaimana
kelanjutan pencarian itu. Aku terpaku pada sosok seorang gadis yang tersenyum
dengan begitu cantiknya, ia berdiri di satu titik hamparan pasir panas.
Rulindakah ia? Sekejap kemudia kulihat gadis itu menjadi cahaya, menjawab semua
Tanya. Dia telah membawa serta Mas Warsito dan satu relawan lain yang entah
siapa namanya.
“Ah…Mas Warsito sekarang berada dalam pelukan
hangat seorang gadis cantik.” Ucapku menenangkan pikiran.
Aku membalikkan badan, pergi menjauh dari
perkemahan Bebeng. Meninggalkan Rulinda yang kini tidak lagi sendirian.
“Halo…ini aku. Aku baik-baik saja. Aku mencintaimu.
Hanya kamu Lindaku!” dan kurasai pipi ini basah. Sekali lagi rahmat-Mu
menghampiriku.
21 Juni 2006
Untuk Ode yang suka mencium pipiku